PENDAHULAN
Kaidah Asasiyah tentang adh-Dhararu Yuzalu. Dalam
kehidupan bermasyarakat, tentunya banyak terdapat masalah-masalah yang
memerlukan suatu penyelesaian, maka dari itu para Ulama membuat suatu
kaidah-kaidah demi menyelesaikan masalah tersebut. Dimana salah satu kaidahnya
adalah kaidah asasiyyah adh-Dhararu Yuzalu
Kaidah asasiyyah adh-Dhararu Yuzalu yaitu kaidah
yang membahas tentang kemudaratan itu memang harus dilihangkan, terlebih dalam
kondisi darurat, maka yang diharamkan pun boleh dilakukan. Yang mana maksud
dari keadaan darurat itu bisa berakibat fatal bila mana tidak diatasi dengan
cara-cara seperti itu. Oleh karena itu hukum Islam membolehkan untuk
meninggalkan ketentuan-ketentuan wajib bila mana sudah dalam keadaan yang
sangat darurat.
PEMBAHASAN
A. Pengetian
adh-Dhararu Yuzalu
اَلضُّرَرُيُزَالُ
“Kemudharatan
harus dihilangkan.”
Maksudnya ialah jika sesuatu itu dianggap sedang atau akan bahkan memang
menimbulkan kemadharatan, maka keberadaanya wajib dihilangkan..[1] Dharar
(ضُّرَر) secara etimologi adalah berasal dari
kalimat "adh Dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang
dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara terminologi menurut para ulama ada
beberapa pengertian diantaranya adalah:
1.
Dharar ialah posisi seseorang pada suatu
batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang dilarang maka bisa mati
atau nyaris mati. Hal seperti ini memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu yang
diharamkan dengan batas-batas tertentu.
2.
Abu Bakar Al Jashas[2],
mengatakan “Makna Dharar disini adalah
ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota
badannya karena ia tidak makan”.
3.
Menurut Ad Dardiri[3],
“Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat
sangat”.
4. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki,
“Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau
hanya sekedar dugaan”.
5.
Menurut imam As Suyuti, “Dharar adalah
posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu
yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan
eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam
agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.
Konsepsi kaidah memberikan
pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tidak
menyakiti), baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain, dan tidak
semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.[4]
B. Perbedaan
antara Masyaqot dengan Darurat
Masyaqqot adalah suatu kesulitan yang menghendaki
adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan
eksistensi manusia. Sedangkan, Darurat adalah kesulitan yang sangat menentukan
eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam
agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. Dengan adanya masyaqqot
akan mendatangkan kemudahan atau keringanan. Sedang dengan adanya darurat akan
adanya penghapusan hukum. Yang jelas, dengan keringanan masyaqqot dan
penghapusan madharat akan mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, dan
dalam konteks ini keduanya tidak mempunyai perbedaan (Wahbah az-Zuhaili,
1982:218).[5]
C. Landasan
Kaidah adh-Dhararu Yuzalu
Kaidah ini didasarkan kepada nash-nash Al-Qur’an dan
hadits[6]
sebagi berikut :
وَلَا
تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ بَعۡدَ إِصۡلَٰحِهَا وَٱدۡعُوهُ خَوۡفٗا وَطَمَعًاۚ
إِنَّ رَحۡمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٞ مِّنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
“Dan
janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya
dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan
(akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik.” (al-A’raf: 56)
إن الله لايحبّ المفسدين
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.” (al-Qashash: 77)
ولا تمسكوهن ضرارا لتعتدوا
“Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan.”(al-Baqarah:
231)
Hadits
yang menjadi dalil keberadaan kaidah adh-Dhararu Yuzalu adalah:
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ
“Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta kerusakan
pada orang lain.”
(HR.
Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
D. Macam-macam
adh-Dhararu Yuzalu
a. الضَّرَرُ لاَيُزَالُ بِالضَّرَرِ[7]
Artinya “Kemudharatan
itu tidak bisa dihilangkan dengan kemudharatan yang lain.” Maksud kaidah ini
adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudharatan
lain yang sebanding keadaannya.
Contoh:
a. Kasus tidak bolehnya
orang tua membunuh anaknya hanya karena takut
kelaparan
b. Tidak dibolehkan
seorang yang kelaparan memakan makanan seorang yang sama dalam keadaan lapar
juga.
Artinya
“Kemudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang.” Kaidah ini dapat disimpulkan, bahwa dalam
keadaan (sangat) terpaksa, maka orang diizinkan melakukan perbuatan yang dalam
keadaan biasa terlarang, karena apabila tidak demikian, mungkin akan
menimbulkan suatu kemadhorotan pada dirinya.
Tidak semua
keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan
keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu,
dalam kondisi ini maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya.
Misalkan seorang di hutan tiada makanan sama sekali jika ia tidak makan maka
dapat mengancam dirinya atau ia bisa mati, namun yang ada disana hanya babi
hutan maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keprluannya.
Di kalangan ushul
fiqih yang dimaksud dengan keadaan darurat yang membolehkan seseorang melakukan
hal-hal yang dilarang adalah keadaan yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Kondisi darurat itu mengancam jiwa dan anggota badan.
b. Keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas.
c. Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan
yang dilarang.
Contoh:
a. Kasus kelaparan dan ia sedang menemukan
makanan bangkai, jika tidak dimakan ia akan mati, maka baginya boleh
memakannya.
c. مَاأُبِيْحُ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ
بِقَدَرِهَا[9]
Artinya “Sesuatu yang
diperbolehkan karena kondisi dharurot harus disesuaikan menurut batasan yang
ukuran yang dibutuhkan dhorurot tersebut.” Maksudnya sesuatu yang asalnya
dilarang, lalu diperbolehkan lantaran keadaan yang memaksa (dhorurot), harus
disesuaikan dengan kadar ukuran dhorurot yang sedang dideritanya, dan tidak
boleh dinikmati sepuas-puasnya atau seenaknya saja, sebab kaidah ini memberikan
batasan pada kemutlakan kaidah adh-Dharurotu Tubihu al-Mahdzurot.
Contoh:
a. Orang yang haus
sekali dan tidak ada minuman kecuali khamr (minuman keras), maka baginya boleh
meminumnya, tetapi hanya sekedar untuk mempertahankan hidupnya yang sedang terancam
lantaran kehausan. Akan tetapi jika hausnya telah hilang,
maka hukumnya kembali pada asal, yaitu haram.
Artinya
“Kebutuhan itu terkadang disetarakan dengan kondisi darurat, baik kebutuhan
umum atau khusus.” Maksudnya ialah kebutuhan terkadang menempati posisi
kemadlaratan, baik secara umum maupun khusus, yakni dalam artian hajat
(kebutuhan) yang dalam kondisi tertentu bisa menjadi salah satu hal yang pada
awalnya dilarang, kemudian berubah menjadi suatu hal yang diperbolehkan untuk
dikerjakan.
Contoh:
a. Pemerintah
yang memiliki rencana akan melakukan pelebaran jalan demi mengurangi kecelakaan
lalu lintas dikarenakan sudah sangat ramai, maka dari itu pemerintah berencana
akan membongkar sebagian rumah warga. Dalam hal ini hal tersebut dibolehkan
karena demi kepentingan orang banyak.
e.
اِذَا تَعَا رَضَ الْمُفْسِدَتَانِ
رُوْعِيَ اَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ اَخَفِّهِمَا[11]
Artinya
“Jika ada dua bahaya berkumpul, maka yang dihindari adalah bahaya yang lebih
besar dengan mengerjakan yang bahayanya lebih ringan.” Maksud ialah jika
ditemukan adanya pertentangan antara dua macam madlarat, maka yang harus
diperhatikan adalah mana yang lebih besar bahayanya dengan melakukan yang lebih
ringan. Jadi, jika pada suatu saat terjadi secara bersamaan dua bahaya atau
lebih, maka yang harus diteliti adalah mafsadah mana yang bobot nilainya lebih
kecil dan lebih ringan efek sampingnya, sehingga yang lebih besar ditinggalkan
dan yang lebih ringan dikerjakan.
Contoh:
a. Membedah
perut wanita yang sedang hamil, jika masih ada harapan bayi yang ada di
dalamnya hidup, maka hukum membedah adalah boleh.
b. Diperbolehkannya
bagi seorang yang dalam keadaan dharurot mengambil makanan seorang yang tidak
dalam keadaan dharurot karena terpaksa.
f.
دَرْءُالْمَفَا سِدِ مُقَدَّ مٌ عَلَى
جَلْبِ الْمَصَالِحِ[12]
Artinya
“Mencegah bahaya itu lebih utama daripada menarik datangnya kebaikan.”
Maksudnya ketika dalam realitas ditemukan adanya bahaya dan kebaikan berkumpul dalam
satu kasus, maka yang harus diprioritaskan lebih dahulu adalah menangkal bahaya
dengan mengabaikan kebaikan. Artinya hal-hal yang dilarang dan membahayakan itu
lebih utama ditangkal daripada berusaha meraih kebaikan dengan cara menjalankan
perintah keagamaan, sementara disisi lain dibiarkan terjadinya kerusakan.
Contoh:
a. Diperbolehkannya
meninggalkan shalat jum’at atau shalat jamaah karena adanya faktor sakit.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini, penulis mengambil
kesimpulan bahwa kaidah ini membahas tentang Kemudharatan Harus Dihilangkan.
Kemudharatan itu harus dihilangkan adalah suatu kerusakan atau kemafsadatan
dihilangkan. Dengan kata lain kaidah ini menunjukkan bahwa berbuat kerusakan
itu tidak diperbolehkan dalam agama islam. Adapun yang berkaitan dengan
ketentuan allah sehingga kerusakan ini menimpa seseorang, keduanya menjadi
lain. Bahkan bisa dianggap sebagai sebagian dari keimanan terhadap qadha dan
qadarnya Allah SWT.
DAFTAR
PUSAKA
Zein,
Muhamad Mas’ud, 2006, Sitematika Teori Hukum Islam (Qawa’id-Fiqhiyyah), Jawa
Timur: Al-Syarifah Al-Khadizah
Bagian
Kurikulum Pelajaran, 2006, Ushul Fiqh dan Qowaid Fiqhiyah, Ponorogo: Darussalam
Press Gontor
Washil,
Nashr Farid Muhammad, dkk, 2009, Qawa’id Fiqiyyah, Jakarta:
Amzah
Usman,
Muclis, 2002, Kaidah-kaidah Istinbat Hukum Islam (Kaidah-kaidah UIshuliyah
dan Fiqhiyah), Jakarta: PT RajaGrafindo Perseda
http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-kemudharatan-itu.html,
12-12-2012, 16:45 WIB
[1]
Muhamad Mas’ud Zein, Sitematika Teori Hukum Islam (Qawa’id-Fiqhiyyah), Jawa
Timur: Al-Syarifah Al-Khadizah, 2006, h. 60
[2]
Al-jashash adalah salah seorang Imam fikih Hanafi pada abad ke 14 H, dan
kitabnya Ahkam Al-Quran dipandang sebagai kitab fikih terpenting, terutama bagi
pengikut mazhab Hanafi
[3]
Adalah salah seorang ulama Azhar yang mahir dalam fikih mazhab maliki
[4]
Nashr Farid Muhammad Washil, dkk, Qawa’id Fiqiyyah, (Jakarta:
Amzah, 2009), h. 17
[5]
http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-kemudharatan-itu.html,
12-12-2012, 16:45 WIB
[6]
Muclis Usman, Kaidah-kaidah Istinbat Hukum Islam (Kaidah-kaidah UIshuliyah dan
Fiqhiyah), Jakarta: PT RajaGrafindo Perseda, 2002, h. 132
[7]
Bag. Kurikulum Pelajaran, Ushul Fiqh dan Qowaid Fiqhiyah, Ponorogo: Darussalam
Press Gontor, 2006, h. 39
[8]
Bag. Kurikulum Pelajaran, Ushul Fiqh dan Qowaid Fiqhiyah, Ponorogo: Darussalam
Press Gontor, 2006, h. 39
[9]
Bag. Kurikulum Pelajaran, Ushul Fiqh dan Qowaid Fiqhiyah, Ponorogo: Darussalam
Press Gontor, 2006, h. 40
[10]
Bag. Kurikulum Pelajaran, Ushul Fiqh dan Qowaid Fiqhiyah, Ponorogo: Darussalam
Press Gontor, 2006, h. 41-42
[11]
Bag. Kurikulum Pelajaran, Ushul Fiqh dan Qowaid Fiqhiyah, Ponorogo: Darussalam
Press Gontor, 2006, h. 42-43
[12]
Bag. Kurikulum Pelajaran, Ushul Fiqh dan Qowaid Fiqhiyah, Ponorogo: Darussalam
Press Gontor, 2006, h. 43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar