Senin, 02 Oktober 2017

Makalah Adh-Dhararu Yuzalu


PENDAHULAN
Kaidah Asasiyah tentang adh-Dhararu Yuzalu. Dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya banyak terdapat masalah-masalah yang memerlukan suatu penyelesaian, maka dari itu para Ulama membuat suatu kaidah-kaidah demi menyelesaikan masalah tersebut. Dimana salah satu kaidahnya adalah kaidah asasiyyah adh-Dhararu Yuzalu
Kaidah asasiyyah adh-Dhararu Yuzalu yaitu kaidah yang membahas tentang kemudaratan itu memang harus dilihangkan, terlebih dalam kondisi darurat, maka yang diharamkan pun boleh dilakukan. Yang mana maksud dari keadaan darurat itu bisa berakibat fatal bila mana tidak diatasi dengan cara-cara seperti itu. Oleh karena itu hukum Islam membolehkan untuk meninggalkan ketentuan-ketentuan wajib bila mana sudah dalam keadaan yang sangat darurat.


 
PEMBAHASAN

A.    Pengetian adh-Dhararu Yuzalu
اَلضُّرَرُيُزَالُ
“Kemudharatan harus dihilangkan.”
      Maksudnya ialah jika sesuatu itu dianggap sedang atau akan bahkan memang menimbulkan kemadharatan, maka keberadaanya wajib dihilangkan..[1] Dharar (ضُّرَر) secara etimologi adalah berasal dari kalimat "adh Dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara terminologi menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:
1.  Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Hal seperti ini memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu yang diharamkan dengan batas-batas tertentu.
2. Abu Bakar Al Jashas[2], mengatakan  “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak  makan”.
3.  Menurut Ad Dardiri[3], “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat”.
4.  Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.
5.  Menurut imam As Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.

Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.

            Konsepsi kaidah memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tidak menyakiti), baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.[4]

B.     Perbedaan antara Masyaqot dengan Darurat

Masyaqqot adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi manusia. Sedangkan, Darurat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. Dengan adanya masyaqqot akan mendatangkan kemudahan atau keringanan. Sedang dengan adanya darurat akan adanya penghapusan hukum. Yang jelas, dengan keringanan masyaqqot dan penghapusan madharat akan mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, dan dalam konteks ini keduanya tidak mempunyai perbedaan (Wahbah az-Zuhaili, 1982:218).[5]


C.     Landasan Kaidah adh-Dhararu Yuzalu

Kaidah ini didasarkan kepada nash-nash Al-Qur’an dan hadits[6] sebagi berikut :

وَلَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ بَعۡدَ إِصۡلَٰحِهَا وَٱدۡعُوهُ خَوۡفٗا وَطَمَعًاۚ إِنَّ رَحۡمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٞ مِّنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ         
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (al-A’raf: 56)
إن الله لايحبّ المفسدين
 “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (al-Qashash: 77)
ولا تمسكوهن ضرارا لتعتدوا
 Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan.”(al-Baqarah: 231)

Hadits yang menjadi dalil keberadaan kaidah adh-Dhararu Yuzalu adalah:
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ
“Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta kerusakan pada orang lain.”
(HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).


D.    Macam-macam adh-Dhararu Yuzalu

a.       الضَّرَرُ لاَيُزَالُ بِالضَّرَرِ[7]
Artinya “Kemudharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemudharatan yang lain.” Maksud kaidah ini adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudharatan lain yang sebanding keadaannya.
Contoh:
a. Kasus tidak bolehnya orang tua membunuh anaknya hanya karena takut  kelaparan
b. Tidak dibolehkan seorang yang kelaparan memakan makanan seorang yang sama dalam keadaan lapar juga.

             b.    اَلضَّرُورَات تُبِيْعُ الْمَحْظُوْرَاتِ[8]
Artinya “Kemudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang.” Kaidah ini dapat                    disimpulkan, bahwa dalam keadaan (sangat) terpaksa, maka orang diizinkan melakukan perbuatan yang dalam keadaan biasa terlarang, karena apabila tidak demikian, mungkin akan menimbulkan suatu kemadhorotan pada dirinya.
Tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya. Misalkan seorang di hutan tiada makanan sama sekali jika ia tidak makan maka dapat mengancam dirinya atau ia bisa mati, namun yang ada disana hanya babi hutan maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keprluannya.
Di kalangan ushul fiqih yang dimaksud dengan keadaan darurat yang membolehkan seseorang melakukan hal-hal yang dilarang adalah keadaan yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Kondisi darurat itu mengancam jiwa dan anggota badan.
b. Keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas.
c. Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang.
Contoh:
a.  Kasus kelaparan dan ia sedang menemukan makanan bangkai, jika tidak dimakan ia akan mati, maka baginya boleh memakannya.

              c.  مَاأُبِيْحُ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا[9]
                  Artinya “Sesuatu yang diperbolehkan karena kondisi dharurot harus disesuaikan menurut batasan yang ukuran yang dibutuhkan dhorurot tersebut.” Maksudnya sesuatu yang asalnya dilarang, lalu diperbolehkan lantaran keadaan yang memaksa (dhorurot), harus disesuaikan dengan kadar ukuran dhorurot yang sedang dideritanya, dan tidak boleh dinikmati sepuas-puasnya atau seenaknya saja, sebab kaidah ini memberikan batasan pada kemutlakan kaidah adh-Dharurotu Tubihu al-Mahdzurot.
Contoh:
a.       Orang yang haus sekali dan tidak ada minuman kecuali khamr (minuman keras), maka baginya boleh meminumnya, tetapi hanya sekedar untuk mempertahankan hidupnya yang sedang terancam lantaran kehausan. Akan tetapi jika hausnya telah hilang, maka hukumnya kembali pada asal, yaitu haram.

d. الحَا جَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُورَةِ عَامَّةًكَانَتْ أَوْخَاصَّةً[10]
Artinya “Kebutuhan itu terkadang disetarakan dengan kondisi darurat, baik kebutuhan umum atau khusus.” Maksudnya ialah kebutuhan terkadang menempati posisi kemadlaratan, baik secara umum maupun khusus, yakni dalam artian hajat (kebutuhan) yang dalam kondisi tertentu bisa menjadi salah satu hal yang pada awalnya dilarang, kemudian berubah menjadi suatu hal yang diperbolehkan untuk dikerjakan.
Contoh:
a.    Pemerintah yang memiliki rencana akan melakukan pelebaran jalan demi mengurangi kecelakaan lalu lintas dikarenakan sudah sangat ramai, maka dari itu pemerintah berencana akan membongkar sebagian rumah warga. Dalam hal ini hal tersebut dibolehkan karena demi kepentingan orang banyak.

e. اِذَا تَعَا رَضَ الْمُفْسِدَتَانِ رُوْعِيَ اَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ اَخَفِّهِمَا[11]
Artinya “Jika ada dua bahaya berkumpul, maka yang dihindari adalah bahaya yang lebih besar dengan mengerjakan yang bahayanya lebih ringan.” Maksud ialah jika ditemukan adanya pertentangan antara dua macam madlarat, maka yang harus diperhatikan adalah mana yang lebih besar bahayanya dengan melakukan yang lebih ringan. Jadi, jika pada suatu saat terjadi secara bersamaan dua bahaya atau lebih, maka yang harus diteliti adalah mafsadah mana yang bobot nilainya lebih kecil dan lebih ringan efek sampingnya, sehingga yang lebih besar ditinggalkan dan yang lebih ringan dikerjakan.
Contoh:
a.    Membedah perut wanita yang sedang hamil, jika masih ada harapan bayi yang ada di dalamnya hidup, maka hukum membedah adalah boleh.
b.   Diperbolehkannya bagi seorang yang dalam keadaan dharurot mengambil makanan seorang yang tidak dalam keadaan dharurot karena terpaksa.

f.  دَرْءُالْمَفَا سِدِ مُقَدَّ مٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ[12]
Artinya “Mencegah bahaya itu lebih utama daripada menarik datangnya kebaikan.” Maksudnya ketika dalam realitas ditemukan adanya bahaya dan kebaikan berkumpul dalam satu kasus, maka yang harus diprioritaskan lebih dahulu adalah menangkal bahaya dengan mengabaikan kebaikan. Artinya hal-hal yang dilarang dan membahayakan itu lebih utama ditangkal daripada berusaha meraih kebaikan dengan cara menjalankan perintah keagamaan, sementara disisi lain dibiarkan terjadinya kerusakan.
Contoh:
a.    Diperbolehkannya meninggalkan shalat jum’at atau shalat jamaah karena adanya faktor sakit.





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini, penulis mengambil kesimpulan bahwa kaidah ini membahas tentang Kemudharatan Harus Dihilangkan. Kemudharatan itu harus dihilangkan adalah suatu kerusakan atau kemafsadatan dihilangkan. Dengan kata lain kaidah ini menunjukkan bahwa berbuat kerusakan itu tidak diperbolehkan dalam agama islam. Adapun yang berkaitan dengan ketentuan allah sehingga kerusakan ini menimpa seseorang, keduanya menjadi lain. Bahkan bisa dianggap sebagai sebagian dari keimanan terhadap qadha dan qadarnya Allah SWT.











DAFTAR PUSAKA
Zein, Muhamad Mas’ud, 2006, Sitematika Teori Hukum Islam (Qawa’id-Fiqhiyyah), Jawa Timur: Al-Syarifah Al-Khadizah
Bagian Kurikulum Pelajaran, 2006, Ushul Fiqh dan Qowaid Fiqhiyah, Ponorogo: Darussalam Press Gontor
Washil, Nashr Farid Muhammad, dkk, 2009, Qawa’id Fiqiyyah, Jakarta: Amzah
Usman, Muclis, 2002, Kaidah-kaidah Istinbat Hukum Islam (Kaidah-kaidah UIshuliyah dan Fiqhiyah), Jakarta: PT RajaGrafindo Perseda
http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-kemudharatan-itu.html, 12-12-2012, 16:45 WIB



[1] Muhamad Mas’ud Zein, Sitematika Teori Hukum Islam (Qawa’id-Fiqhiyyah), Jawa Timur: Al-Syarifah Al-Khadizah, 2006, h. 60
[2] Al-jashash adalah salah seorang Imam fikih Hanafi pada abad ke 14 H, dan kitabnya Ahkam Al-Quran dipandang sebagai kitab fikih terpenting, terutama bagi pengikut mazhab Hanafi
[3] Adalah salah seorang ulama Azhar yang mahir dalam fikih mazhab maliki
[4] Nashr Farid Muhammad Washil, dkk, Qawa’id Fiqiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 17  
[5] http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-kemudharatan-itu.html, 12-12-2012, 16:45 WIB
[6] Muclis Usman, Kaidah-kaidah Istinbat Hukum Islam (Kaidah-kaidah UIshuliyah dan Fiqhiyah), Jakarta: PT RajaGrafindo Perseda, 2002, h. 132
[7] Bag. Kurikulum Pelajaran, Ushul Fiqh dan Qowaid Fiqhiyah, Ponorogo: Darussalam Press Gontor, 2006, h. 39
[8] Bag. Kurikulum Pelajaran, Ushul Fiqh dan Qowaid Fiqhiyah, Ponorogo: Darussalam Press Gontor, 2006, h. 39
[9] Bag. Kurikulum Pelajaran, Ushul Fiqh dan Qowaid Fiqhiyah, Ponorogo: Darussalam Press Gontor, 2006, h. 40
[10] Bag. Kurikulum Pelajaran, Ushul Fiqh dan Qowaid Fiqhiyah, Ponorogo: Darussalam Press Gontor, 2006, h. 41-42
[11] Bag. Kurikulum Pelajaran, Ushul Fiqh dan Qowaid Fiqhiyah, Ponorogo: Darussalam Press Gontor, 2006, h. 42-43
[12] Bag. Kurikulum Pelajaran, Ushul Fiqh dan Qowaid Fiqhiyah, Ponorogo: Darussalam Press Gontor, 2006, h. 43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

*Mengenal Lebih Dekat Dunia Jurnalistik, Pesantren Modern Primago Menggelar Pelatihan Jurnalistik Bersama Pimpinan Redaksi Gontornews.com.*

 *Mengenal Lebih Dekat Dunia Jurnalistik, Pesantren Modern Primago Menggelar Pelatihan Jurnalistik Bersama Pimpinan Redaksi Gontornews.com.*...