BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hadits Nabi
terkadang berbentuk perintah, larangan, atau berupa lafadz yang semakna dengan
perintah dan larangan. Perintah atau larangan dalam hadits kadangkala
disebutkan illatnya, kadangkala tidak. Ilmu ini adalah ilmu yang tersamar bagi
banyak ahli hadits, ia dapat dikatakan jenis ilmu hadits yang paling dalam dan
rumit, bahkan dikatakan inilah intinya yang termulia. Tak dapat diketahui
penyakit-penyakit hadits, melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang
sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai kemampuan yang kuat
terhadap sanad dan matan-matan hadits. Ibnu Katsir berkata “yang dapat meneliti
ilmu ini adalah para ulama yang ahli, yang dapat membedakan antara hadits
shahih dan yang dhaif, yang lurus dan yang bengkok, sesuai tingkatan ilmu,
kepandaian dan ketelitian mereka terhadap jalan hadits, serta ketajaman
perasaan pada keindahan lafadz hadits Rasulullah yang tidak mungkin menyamai
perkataan manusia pada umumnya. Diantara beberapa riwayat hadits, ada yang
asli, ada yang mengalami perubahan pada lafadz atau penambahan, atau pemalsuan
dan seterusnya. Semua ini hanya dapat diketahui oleh ulama yang mempunyai
pengetahuan yang sempurna tentang ilmu ini.
Dalam makalah
ini, penulis menitikberatkan pembahasan makalah dari buku karangan K.H Ali
Mustafa Ya’dan seluk beluknya serta contoh-contohnya agar selanjutnya bisa
memahami makna makna dan menggali hukum yang dapat disimpulkan dengan cara yang
ditetapkan.
Hanya kepada Allah kita memohon
untuk menunjukkan pada kita jalan yang lurus.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Pengertian illat hadits
2.
Pembagian illat hadits
3.
Contoh-contoh illat hadits
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Illat Hadits
‘Ilal adalah
jamak dari ‘illat, artinya penyakit. ‘Illat menurut istilah ahli hadits adalah
suatu sebab yang tersembunyi yang dapat mengurangi status keshahihan hadits
padahal zahirnya tidak nampak ada cacat.[1]
Kata hadits berasal dari bahasa
Arab; yakni al-hadits jamaknya al-haadits, al-hidtsan, dan al-hudtsan. Dari segi bahasa, kata ini
memiliki banyak arti, di antaranya; (1) al-jadid (yang baru), lawan dari al-qadim (yang lama), (2) al-khabar
(kabar atau berita).[2]
Menurut istilah, hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi saw.,
baik berupa perkataan, perbuatan, takrir maupun sifat-sifatnya.[3]
Ilmu ‘ilal hadits adalah ilmu yang
menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi dan tidak nyata, yang dapat merusak
hadits. Seperti menyambung yang munqathi’,
memarfu’ kan yang mauquf,
memasukkan suatu hadits kedalam hadits yang lain, menempatkan sanad pada matan
yang bukan semestinya, dan yang serupa itu. Semuanya ini, bila diketahui, dapat
merusak keshahihan hadits.[4]
Sedangkan illat menurut mayoritas
ulama Ushul Fiqh adalah sifat zhahir yang dapat dipedomani dan menjadi
pendeteksi hukum. Atau suatu sifat yang keberadaannya menyebabkan adanya hukum,
dan ketiadaannya menyebabkan ketidak-adanya hukum.[5]
Sebagian ulama Ushul Fiqh mendefinisikan illat sebagai sifat yang menggabungkan
antara pokok dan cabang.[6]
Illat diperlukan dalam mempraktikkan
metode qiyas. Karena illat merupakan sifat yang menyatukan antara pokok dan
cabang. Illat termasuk salah satu diantara komponen qiyas. Kita dapat
mengetahui adanya suatu hukum dengan adanya illat, dan tidak adanya suatu hukum
dengan tidak adanya illat.
B.
Macam-Macam
Illat dan Cotohnya
Illat adakalanya tercantum dalam
teks (manshushah) dan adakalanya ditemukan melalui ijtihad (mustanbathah).
Illat yang mansushah adalah illat yang ditemukan dalam teks dalil. Sedangkan
illat mustanbathah adalah illat yang ditetapkan melalui ijtihad (penggalian
hukum) seorang mujtahid.[7]
Secara umum, illat mansushah (eksplisit)
tidak menyebabkan adanya perbedaan pendapat diantara ulama. Berbeda halnya
dengan illat mustanbathah (implisit). Sebab illat yang ini terkadang
menyebabkan para ulama berbeda pendapat mengenai maksud hadits yang illatnya
tidak disebutkan didalam teksnya. Karenanya, tidak ada perbedaan pendapat dalam
memahami maksud hadits yang menyebutkan illatnya. Sebab illat dicantumkan di
sana atau illat tersebut mansushah.
Perbedaan pendapat dalam hal ini
baru tampak ketika ada perbedaan pendapat riwayat di dalam hadits. Sebagian
ulama menggunakan riwayat hadits yang memuat illat (mansushah) di dalamnya,
sementara sebagian ulama yang lain
menggunakan riwayat hadits yang tidak menyebutkan illat didalamnya.
Berikut ini adalah contoh beberapa hadits yang
menyebutkan illat didalamnya secara eksplisit dan pendapat para ulama yang
memahaminya.
1.
Illat eksplisit (al-illah
al-mansushah)
a.
Memabukkan dalam Khamr
Hadits:
كل
شراب اسكر فهو حرام
“setiap minuman yang memabukkan adalah haram”[8]
Hadits:
كل
مسكر خمر وكل مسكر حرام
“setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap yang memabukkan
adalah haram”[9]
Hadits:
كل مسكر حرام وما اسكر منه الفرق فملء الكف منه حرام
“setiap yang memabukkan adalah haram. Minuman yang ketika banyak
kadarnya memabukkan, maka seisi telapak tangan pun haram”[10]
Hadits-hadits di atas menyatakan secara eksplisit bahwa setiap yang memabukkan, cairan maupun
benda padat, matang maupun dimasak, dari perasan anggur atau dari bahan
lainnya, adalah haram. Illat keharaman benda tersebut adalah memabukkan. Dalam
hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, sebab illat yang
menyebabkan keharamannya tercantum dalam teks dalil (mansushah). Para ulama
juga memahami hadits-hadits di atas bahwa setiap minuman yang tidak memabukkan
adalah tidak haram, karena tidak ada illat memabukkan di dalamnya.
b.
Menunggu Dingin Shalat Zuhur
Imam
al-Bukhari meriwayatkan dalam kitabnya shahih al-Bukhari
عن
أبي ذر الغفاري رضي الله عنه قال كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم في سفر, فأراد
المؤذن أن يؤذن للظهر, فقال النبي صلى الله عليه وسلم: أبرد, ثم أراد أن يؤذن,
فقال له: أبرد, حتى رأينا فيء التلول, فقال النبي صلى الله عليه وسلم: إن شدة الحر
من فيح جهنم فإذا اشتد الحر فأبردوا بالصلاة
Dari
Abu Dzar al-Ghifari RA, berkata: “kami bersama Nabi saw dalam suatu perjalanan.
Saat muadzin hendak mengumandangkan azan, Nabi saw bersabda: “tunggu sampai
dingin!” Sehingga kami melihat bayang-bayang condong, Kemudian Nabi saw
bersabda: “sesungguhnya hawa yang sangat panas itu berasal dari neraka jahanam.
Apabila hawa sangat panas, maka tunggu sampai udara dingin untuk shalat”[11]
Nabi
saw menyatakan bahwa illat menunggu dingin dalam shalat zuhur adalah hawa yang
sangat panas. Dari sini, kita dapat memahami bahwa perintah shalat zuhur dengan
menunggu dingin adalah berkaitan dengan kondisi yang sangat panas. Jika kondisi
ini tidak ada, maka menunggu dingin untuk shalat zuhur tidak di perintahkan.
c.
Berbeda dari Orang Musyrik
Imam al Bukhari dan Imam Muslim dalam kitabnya shahih al-Bukhari
dan shahih Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA bahwa Rasulullah saw
bersabda:
خالفوا المشركين أحفوا الشوارب و أوفروا اللحى
“tampillah berbeda dari kaum musyrik. Cukurlah kumis dan
biarkanlah jenggot”[12]
Teks ini menyatakan bahwa Rasulullah saw memerintahkan orang-orang
beriman untuk tampil berbeda dari kaum musyrikin. Yaitu dengan mencukur kumis
dan membiarkan jenggot lebat. Karena kalimat yang kedua, yaitu: “cukurlah kumis
dan biarkanlah jenggot” sebagaiman yang dikutip dari Imam Ibn Taimiyah
rahimahullah, merupakan badal (pengganti
sebagai penjelas) dari kalimat yang pertama yaitu: “tampillah berbeda dari kaum
musyrik.” Maka illat tersebut adalah mansushah (bersifat eksplisit) karena
Rasulullah saw menyebutkannya di dalam teks hadits.
2.
Illat Implisit (al-illah
al-mustanbathah)
Berbeda dengan al-illah al-mansushah (faktor penyebab secara
eksplisit) yang lafadznya tercantum dalam teks dalil, illah mustanbathah adalah
faktor penyebab yang ditemukan oleh seorang mujtahid saat menggali hukum dari
teks-teks dalil. Karena illah mustanbathah dapat dideteksi melalui proses ijtihad,
maka tidak heran apabila illat ini menjadi salah satu faktor adanya perbedaan
pendapat di kalangan mujtahid. Karena illat dalam sebuah teks terkadang dapat
diketahui oleh seorang mujtahid namun tidak diketahui oleh mujtahid yang lain.
Berikut ini adalah beberapa contoh illat mustanbathah (faktor
penyebab secara implisit) dari Hadits Nabi saw.
a.
Bersegera Menuju Bani Quraizhah
Di antara contoh yang populer mengenai illat mustanbathah dari
teks-teks dalil ini adalah riwayat dari beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum
tentang Shalat Ashar di Bani Quraizhah. Imam
al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar RA, ia berkata, bahwa Rasulullah
saw bersabda:
لا
يصلين أحد العصر إلا في بني قريظة, فأدرك بعضهم العصر في الطريق, فقال بعضهم: لا
نصلي حتى نأتيها. وقال بعضهم: بل نصلي, لم يرد منا ذلك. فذكر للنبي صلى الله عليه
وسلم فلم يعنف واحدا منهم
“janganlah sekali-kali seorang pun shalat ashar kecuali di Bani
Quraiz
Hah.” Maka sebagian dari mereka mendapati waktu asar di perjalanan.
Ada yang berkata: “Kita kerjakan shalat asar setelah tiba di sana (Bani
Quraizhah). Sebagian yang lai berkata:
“Tidak, kita laksanakan shlat ashar di sini. Nabi tidak menghendaki kita
mengakhirkan shlat ashar sampai malam.” Kemudian hal tersebut dilaporkan kepada
Nabi Saw. Ternyata beliau tidak menyalahkan seorang pun dari mereka.[13]
Sebagian
sahabat telah berijtihad pada masa Nabi saw dan shalat ashar di perjalanan.
Mereka berpendapat bahwa Nabi saw tidak menghendaki mereka untuk mengakhirkan
shalat ashar sampai larut malam. Yang bbeliau kehendaki adalah mereka bersegera
menuju Bani Quraizhah, mereka melihat perintah beliau secara kontekstual.
Sedangkan Sahabat yang berijtihad untuk melaksanakan shaklat ashar di Bani
Quraizhah, kendati sudah masuk malam. Mereka melihatnya secara tekstual. Mereka
adalah kaum tekstualis (ahli al-zhahir) dari generasi salaf. Sedangkan kelompok
pertama adalah kaum kontekstualis (ashhab al-ra’y wa al-qiyas)dari generasi
salaf juga.[14]
Kaum
tekstualis adalah orang yang memahami hadits dari lafazhnya (lafzhiyyah),
sedangkan kaum kontekstualitas adalah mereka yang memahami hadits dari segi
maknanya (ma’nawiyyah). Kaum tekstualis mendasarkan pendapatnta dalam
berijtihad pada lafazh hadits secara tekstual. Sedangkan kalangan
kontekstualitas mendasarkan pendapatnya dalam memahami perintah Nabi saw pada
illatnya dengan menggali illat tersebut.
Imam
Ibn Hajar (w. 852 H)rahimahullah mengutipdari al-Suhaili dan lainnya, berkata:
“hadits di atas mengandung faidah bahwa tidak tercela orang yang mengamalkan
hadits atau ayat al-Quran dari segi lafazhnya. Begitu pula bagi yang
mengamalkannya dengan cara menggali teks dalil untuk memperoleh maknanya secara
khusus.”[15]
Dari
kisah sahabat radhiyallahu’anhum tentang
Bani Quraizhah di atas, kita mengetahui bahwa di antara sahabat ada yang
menggunakan metode pemahaman secara tekstual dalam berijtihad, dan di antara
mereka juga ada yang menggunakan metode pemahaman secara kontekstual dalam
berijtihad. Tidak diragukan bahwa hal ini adalah boleh. Kebolehan tersebut
selama masih dalam ruang lingkup ijtihad. Semoga Allah swt meridhoi mereka
semua.
b.
Perempuan Berhias di Masjid
Imam Muslim dalam kitabnya shahih muslim meriwayatkan dari Abdullah
bin Umar RA berkata:
سمعت
رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: لا تمنعوا نياءكم المساجد إذا استأذنكم إليها.
فقال بلال بن عبدالله : قال (أي الراوي سالم بن عبدالله): فأقبل عليه عبدالله فسبه
سبا سيئا ما سمعته سبه مثله, وقال: أخبرك عن رسول الله صلى الله عليه وسلم وتقول
والله لنمنعهن
“Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kamu melarang
kaum perempuanmu ke masjid apabila mereka meminta izin kepadamu untuk itu.”
Bilal bin Abdullah, lanjut rawi, berkata: “Demi Allah, sungguh kami akan
melarang mereka (pergi ke masjid).” Rawi, Salim bin Abdullah, mengatakan:
“Abdullah (Ibn Umar) menfatangi Bilal lalu mecaci makinya dengan ucapan buruk
yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Ia berkata: “Aku mengabarkan kepadamu
dari Rasulullah saw, sedangkan kamu mengatakan: “Demi Allah, sengguh kami akan
melarang mereka.”[16]
Ummul Mukminin Aisyah RA
pernah mengatakan:
لو
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم رأى ما أحدث النساء لمنعهن كما منعت نساء بني
إسرائيل
“Seandainya Rasulullah saw melihat apa yang terjadi pada kaum
perempuan (saat ini), tentu beliau akan melarang mereka pergi ke masjid
sebagaiman dilarangnya kaum perrempuan Bani Israil.”[17]
Tidak diragukan lagi
bahwa sahabat yang agung Abdullah bin Umar RA telah mengamalkan lafazh hadits
secara tekstual. Beliau berpendapat bahwa kaum perempuan tidak boleh dilarang ke masjid. Sementara
Ummul Mukminin Aisyah RA, begitu pula Bilal bin Abdullah mengamalkan Hadits
dari segi maknanya. Keduanya beristinbat (menggali hukum dengan berijtihad)
bahwa illat dari hadits tersebut, adalah tidak mengenakan parfum, tidak
berhias, tidak memakai pakaian yang mencolok, tidak bercampur dengan kaum pria,
bukan seorang gadis atau orang lain yang dapat menimbulkan fitnah, tidak
terjadi gangguan yang mengkhawatirkan di jalan, dan lain sebagainya.[18]
Berdasarkan hal ini,
Imam Muslim menulis sebuah bab yang berjudul “Bab Khuruj al-Nisa ila al-Masajid
Idza Lam Yatarattab ‘alaih fitnah wa annaha La Takhruj Mutathayyibah” (Bab
Keluarnya Kaum Perempua ke Masjid Ketika Tidak Menimbulkan Fitnah dan Keluar
Tanpa Wewangian)[19]Kemudian
beliau meriwayatkan hadits-hadits mengenai hal tersebut.
Saat Sayidina Abdullah
bin Umar RA mencaci putranya Bilal bin Abdullah dengan makian yang buruk yang
belum pernah beliau lontarkan sebelumnya, disebabkan perkataan Bilal, “Demi
Allah, sungguh kami akan melarang mereka (ke masjid),” sedangkan Rasulullah saw
telah bersabda, “Janganlah kamu melarang kaum perempuan ke masjid” sebagian
kalangan menuduh Bilal bin Abdullah telah menyalahi Sunnah Rasulullah saw.
Demikian pula dengan halnya Ummul Mukminin Aisyah RA. Padahal tuduhan itu tidak
benar. Ijtihad yang dilakukan Ummul Mukmini Aisyah, begitu pula Bilal bin
Abdullah bin Umar RA, tidak menyalahi teks dalil karena dua faktor:
Pertama: Petunjuk teks dalil (dalalah al-nash al-syar’i) ada dua
macam; dilalah al-manthuq (eksplisit atau tersurat) dan dalalah al-mafhum
(implisit atau tersirat). Dalalah al-manthuq adalah cara memahami teks dalil
melalui lafazhnya (tekstual), sedangkan dalalh al-mafhum adalah cara memahami
dalil melalui maknanya (kontekstual). Maka, ijtihad Ummul Mukminin Aisyah RA
tidak menyalahi nash, karena beliau menggunakan metode kontekstual dalam
memahami nash, demikian pula ijtihad Bila bin Abdullah bin Umar RA.
Kedua: Tidak adnya fitnah yang menjadi
syarat dibolehkannya kaum perempuan keluar ke masjid pada dasrnya telah
disebutkan oleh Nabi saw dalam Hadis-hadis yang lain. Kita baru saja menyimak
pemaparan Imam Nawawi rahimahullah bahwa keluarnya kaum perempuan ke masjid
adalah boleh dengan syarat tidak memakai wewangian, tidak berhias, tidak
memakai pakaian yang mencolok, tidak bercampur dengan kaum pria, buka seorang
gadis, dan lain sebagainya.
Tidak ragu lagi bahwa
semua itu terjadi pada masa Nabi. Adapun kaum perempuan yang keluar rumah
menuju masjid dalam keadaan berparfum, bercampur dengan kaum pria, masih gadis,
dan lain sebagainya, Rasulullah saw tidak menghendakinya. Karenanya, kebolehan
untuk mkeluar tersebut menjadi hilang. Maka ijtihad Ummul Mukminin Aisyah, demikian
pula Bilal bin Abdullah RA tidak menyalahi teks-teks hadis dalam permasalahan
ini. Wallahu a’lam.
3.
Kurban Diganti Uang
Dalam hadis shahih riwayat imam al-Bukhari dan Muslim dari Anas RA,
أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم ضحى بكبشين أملحين أقرنين ذبحهما بيده وسمى وكبر
ووضع رجله على صفاحهما
“Bahwa Rasulullah saw berkurban dengan dua ekor kambing yang
sama-sama putih dan bertanduk. Beliau menyembelih sendiri keduanya. Beliau
membaca basmalah dan bertakbir serta meletakkan telapak kaki beliau di samping
leher masing-masing dari keduanya.”[20]
Imam al-Tirmidzi dalam
kitabnya sunan al-Tirmidzi dan imam Ibn Majah meriwayatkan dalam kitabnya sunan
Ibn Majah juga meriwayatkan dari Aisyah RA bahwa Rasulullah saw bersabda:
ما
عمل إبن آدم يوم النحر عملا أحب إلى الله من هراقة دم, وإنه ليأتي يوم القيامة
بقرونها وأظلالفها وأشعارها , وإن دم ليقع منالله عزوجل بمكان قبل أن يقع على
الأرض, فطيبوا بها نفسا
“Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam (manusia) pada
hari raya Idul Adha yang lebih dicintai Allah daripada menyembelih binatang.
Karena binatang itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya,
kuku-kuku kakinya dan bulu-bulunya. Sesungguhnya darah binatang itu akan sampai
di sisi Allah Azza wa Jalla sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu
untuk melakukannya.[21]
Tidak ada perbedaan
pendapat di antara para ulama bahwa kurban merupakan ibadah yang diperintahkan
dan tidak dianjurkan meninggalkannya bagi orang yang mampu melakukannya. Hanya
saja fenomena yang terjadi sekarang, sebagaimana kita ketahui di Indonesia,
banyak orang-orang fakir miskin setelah menerima daging kurban, mereka malah
menjual daging-daging tersebut. Sebab mereka lebih memerlukan uang dari pada
daging. Permasalahannya sekrang, manakala yang lebih utama beribadah kurban dengan
menyembelih binatang atau bersedekah seharga binatang tersebut? Dalam hal ini
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Madzhab pertama
berpendapat bahwa menyembelih hewan kurban lebih utama dari pada bersedekah
dengan harga hewan tersebut. Tampaknya sahabat yang agung Abdullah bin Umar ra
di antara kalangan yang menganut pendapat ini. Karena beliau dikenal sebagai
sahabat yang paling ketat dalam mencontoh Nabi saw hingga berpendapat dengan
pola pikir kaum tekstualis atau memahami teks-teks dali melalui lafazhnya.
Sehingga diantara generasi ulama salaf, misalnya Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam
Abu al-Zinad rahimahullah juga menggunakan pola pikir ini dalam pendapatnya.
Mereka mengatakan bahwa
Nabi saw dan para khalifah setelahnya menyembelih hewa kurban. Seandainya
mereka mengetahui bahwa sedekah (dengan harga hewan tersebut) lebih utama dari
menyembelih hewan kurban, tentu mereka akan beralih buntuk bersedekah. Karena
sesungguhnya me ngutamakan bersedekah dari pada berkurban akan berdampak pada sikap
mengabaikan perilaku yang disunnahkan Rasulullah saw.
Madzhab kedua
berpendapat bahwa bersedekah seharga hewan kurban lebih utama dari pada
menyembelih hewannya. Di antara kalanagan yang berpendapay demikian adalah
Ummul Mukminin Aisyah RA dan Bilal RA (muadzin) Rasulullah saw. Ummul Mukminin
Aisyah RA berkata:
لأن
اتصدق بخاتمي هذا أحب إلي من أهدي غلى البيت ألفا
“Sungguh aku bersedekah denga cincinku ini lebih aku sukai dari
pada menyembelih seribu (hewan) dan kuhadiahkan ke Baitullah.”[22]
Bilal muadzin Rasulullah
saw berkata:
ما
أبالي أن لا أضحي إلا بديك, ولأن أضعه يتيم قد ترب قوه فهو أحب إلي من أن أضحي
“Aku tidak peduli untuk berkurban hanya dengan seekor ayam
jantan. Karena sungguh dengan memberikannya kepada anak yatim mulutnya berdebu
karena tidak makan, lebih aku sukai dari pada berkurban.”[23]
Di antara ulama yang
mengikuti madzhab ini adalah imam al-Sya’bi dan Abu Tsaur rahimahullah.[24]
Imam Ibn Qudamah
menyanngah madzhab pertama dengan mengatakan bahwa pernyataan Aisyah di atas
berkenaan dengan hewan dam, bukan hewan kurban. Perbedaan pendapat ulama tidak
dalam maslah ini.[25]
Sedangkan terhadap pernyataan Bilal muadzin Rasulullah saw, Imam Ibn Qudamah
tidak mengomentarinya.[26]
Demikianlah, apa yang
dikatakan oleh Aisyah RA dan Bilal RA serta kalangan yang sependapat dengan
keduanya dalam menentukan illat dalam syariat kurban. Illat tersebut adalah
memberi makan kepada kaum fakir miskin dan membantu perekonomian mereka.
Menurut mereka, kurban bukan merupakan ibadah qashirah (individual), melainkan
ibadah muta’addiyah atau ibadah sosial. Karena illat ini tidak tercantum di
dalam teks hadits, maka illat tersebut adalah illat mustanbathah. Wallahu a’lam.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Illat adalah
kecacatan terselubung dan tidak nyata yang terdapat pada hadits yang telah
ditetapkan ke-shahih-annya. Sebab itu ia menjadi salah satu syarat utama
ke-shahih-an hadits dan bukan sebatas variabel pelengkap atau kaidah minor.
Tak dapat di
ketahui penyakit-penyakit hadits, melainkan oleh ulama yang mempunya
pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai
kemampuan yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadits.
Di sisi lain,
permasalahan ‘illat hadits juga memberikan arti penting dalam kehidupan
beragama bahwa, tidak ada manusia yang memiliki kesempurnaan, bisa jadi secara
lahiriahnya adalah baik, tetapi mengandung kecacatan yang tidak tampak. Tidak
terkecuali para periwayat yang sangat menjaga kwalitas dirinya dalam
meriwayatkan hadits.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Ya’qub, Ali Musthafa. Al-Thuruq Al-Shahihah Fi Al-Sunnah
Al-Nabawiyah. 2016. Jakarta:
Maktabah Dar Al-Sunnah
2.
Sohari Sahrani. Ulumul Hadits. 2015. Bogor: Ghalia Indonesia
3.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadits / Syaikh
Manna’ Al-Qaththan; Penerjemah: Mifdhol Abdurrahman, Lc. Editor: Muhammad
Ihsan,Lc. 2015. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
____________________________________
1 Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar
Studi Ilmu Hadits / Syaikh Manna’ Al-Qaththan; Penerjemah: Mifdhol Abdurrahman, Lc. Editor: Muhammad
Ihsan,Lc. 2015. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), hal 98
2 M. Syuhudi Ismail, Kaidah
Kesahihan Sanad Hadits (Jakarta, Bulan Bintang, 1988), hal 24
3 Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (IAIN “SMH” Banten, 2005), hal 1
4 Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar
Studi Ilmu Hadits / Syaikh Manna’ Al-Qaththan; Penerjemah: Mifdhol
Abdurrahman, Lc. Editor: Muhammad Ihsan,Lc. 2015. (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar), hal 98
5 al-Amidi, al-hikam fi
al-ushul al-ahkam, II/136. Al-Amidi tidak mencantumkan definisi illat
disini. Beliau hanya mencantumkan maknanya saja.
6 Muhammad Hassan Hitou, al-khulashah
fi ushul al-fiqh, hal 112
7 Abd al-Karimbin Ali al-Namlah, al-muhadzdzab
fi ushul al-fiqh al-muqarin V/220-221
8 Shahih al-Bukhari, III/321;
Sunan Abu Dawud, IV/88
9 Shahih Muslim, II/200-201; Sunan Abu Dawud, IV/85; Sunan al-Tirmidzi, III/192; Sunan Ibn Majah, II/1124
10 Sunan Abu Dawud,
IV/94
11 Shahih al-Bukhari, Bab Ibrad Shalah al-Zhuhr fi al-Safar, I/103
12 Shahih al-Bukhari, Bab I’fal al-Liha, V/321 dan Shahih Muslim, Bab
Khishal al-Fithrah, I/153
13 Shahih al-Bukhari,
I/123
14 Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah, A’lam
al-Muwaqqi’in, I/302
15 Imam Ibn Hajar al-Asqalani, Fath
al-Bari, XV/295
16 Shahih Muslim, I/187
17 Shahih Muslim, I/188
18 Al-Nawawi, Syarh Shahih
Muslim, IV/161-162
19 Shahih Muslim, I/187
20 Shahih al-Bukhari, Bab al-Takbir ‘ind al-Dzibh, V/2114; Shahih Muslim, Bab
Istijab al Dhahiyyah Mubasyarah bi la Taukil wa al-Tasmiyyah wa al-Takbir,
I/188
21 Sunan al-Tirmidzi, Bab Ma Ja’a fi Fadhl al-Udhhiyyah, IV/82; Sunan Ibn Majah, Bab
Tsawab al-Udhhiyyah, II/1045
22 Ibn Qudamah, al-Mughni,
XIII/361
23 Imam Abd al-Razzaq, al-Mushannaf,
IV/385
24 Ibn Qudamah, al-Mughni,
XIII/361-362
25 Ibid
26 Ibn Qudamah, al-Mughni,
XIII/361
[1]
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar
Studi Ilmu Hadits / Syaikh Manna’ Al-Qaththan; Penerjemah: Mifdhol Abdurrahman, Lc. Editor: Muhammad
Ihsan,Lc. 2015. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), hal 98
[2]
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad
Hadits (Jakarta, Bulan Bintang, 1988), hal 24
[3]
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (IAIN “SMH” Banten, 2005), hal 1
[4]
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar
Studi Ilmu Hadits / Syaikh Manna’ Al-Qaththan; Penerjemah: Mifdhol
Abdurrahman, Lc. Editor: Muhammad Ihsan,Lc. 2015. (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar), hal 98
[5]
al-Amidi, al-hikam fi al-ushul al-ahkam,
II/136.
Al-Amidi tidak mencantumkan definisi illat disini. Beliau hanya mencantumkan
maknanya saja
[6]
Abd al-Karimbin Ali al-Namlah, al-muhadzdzab fi ushul al-fiqh al-muqarin
V/220-221
[7]
Abd
al-Karimbin Ali al-Namlah, al-muhadzdzab
fi ushul al-fiqh al-muqarin V/220-221
[9]
Shahih
Muslim, II/200-201; Sunan Abu Dawud, IV/85; Sunan
al-Tirmidzi, III/192; Sunan Ibn
Majah, II/1124
[14]
Imam
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, A’lam
al-Muwaqqi’in, I/302
[15]
Imam
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari,
XV/295
[18]
Al-Nawawi,
Syarh Shahih Muslim, IV/161-162
[20]
Shahih al-Bukhari, Bab al-Takbir ‘ind
al-Dzibh, V/2114; Shahih Muslim, Bab
Istijab al Dhahiyyah Mubasyarah bi la Taukil wa al-Tasmiyyah wa al-Takbir,
I/188
[21]
Sunan al-Tirmidzi, Bab Ma Ja’a fi Fadhl
al-Udhhiyyah, IV/82; Sunan Ibn Majah, Bab
Tsawab al-Udhhiyyah, II/1045
[22]
Ibn
Qudamah, al-Mughni, XIII/361
[23]
Imam
Abd al-Razzaq, al-Mushannaf, IV/385
[24]
Ibn
Qudamah, al-Mughni, XIII/361-362
[25]
Ibid
[26]
Ibn
Qudamah, al-Mughni, XIII/361
Tidak ada komentar:
Posting Komentar