Senin, 23 Oktober 2017

Makalah Illat Hadits


BAB I                                                                                                                                                            PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Hadits Nabi terkadang berbentuk perintah, larangan, atau berupa lafadz yang semakna dengan perintah dan larangan. Perintah atau larangan dalam hadits kadangkala disebutkan illatnya, kadangkala tidak. Ilmu ini adalah ilmu yang tersamar bagi banyak ahli hadits, ia dapat dikatakan jenis ilmu hadits yang paling dalam dan rumit, bahkan dikatakan inilah intinya yang termulia. Tak dapat diketahui penyakit-penyakit hadits, melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai kemampuan yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadits. Ibnu Katsir berkata “yang dapat meneliti ilmu ini adalah para ulama yang ahli, yang dapat membedakan antara hadits shahih dan yang dhaif, yang lurus dan yang bengkok, sesuai tingkatan ilmu, kepandaian dan ketelitian mereka terhadap jalan hadits, serta ketajaman perasaan pada keindahan lafadz hadits Rasulullah yang tidak mungkin menyamai perkataan manusia pada umumnya. Diantara beberapa riwayat hadits, ada yang asli, ada yang mengalami perubahan pada lafadz atau penambahan, atau pemalsuan dan seterusnya. Semua ini hanya dapat diketahui oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang ilmu ini.
Dalam makalah ini, penulis menitikberatkan pembahasan makalah dari buku karangan K.H Ali Mustafa Ya’dan seluk beluknya serta contoh-contohnya agar selanjutnya bisa memahami makna makna dan menggali hukum yang dapat disimpulkan dengan cara yang ditetapkan.
Hanya kepada Allah kita memohon untuk menunjukkan pada kita jalan yang lurus.
B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian illat hadits
2.      Pembagian illat hadits
3.      Contoh-contoh illat hadits








BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Illat Hadits
‘Ilal adalah jamak dari ‘illat, artinya penyakit. ‘Illat menurut istilah ahli hadits adalah suatu sebab yang tersembunyi yang dapat mengurangi status keshahihan hadits padahal zahirnya tidak nampak ada cacat.[1]  Kata hadits berasal dari bahasa Arab; yakni al-hadits jamaknya al-haadits, al-hidtsan, dan al-hudtsan. Dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti, di antaranya; (1) al-jadid (yang baru), lawan dari al-qadim (yang lama), (2) al-khabar (kabar atau berita).[2] Menurut istilah, hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi saw., baik berupa perkataan, perbuatan, takrir maupun sifat-sifatnya.[3]
Ilmu ‘ilal hadits adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi dan tidak nyata, yang dapat merusak hadits. Seperti menyambung yang munqathi’, memarfu’ kan yang mauquf, memasukkan suatu hadits kedalam hadits yang lain, menempatkan sanad pada matan yang bukan semestinya, dan yang serupa itu. Semuanya ini, bila diketahui, dapat merusak keshahihan hadits.[4]
Sedangkan illat menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh adalah sifat zhahir yang dapat dipedomani dan menjadi pendeteksi hukum. Atau suatu sifat yang keberadaannya menyebabkan adanya hukum, dan ketiadaannya menyebabkan ketidak-adanya hukum.[5] Sebagian ulama Ushul Fiqh mendefinisikan illat sebagai sifat yang menggabungkan antara pokok dan cabang.[6]
Illat diperlukan dalam mempraktikkan metode qiyas. Karena illat merupakan sifat yang menyatukan antara pokok dan cabang. Illat termasuk salah satu diantara komponen qiyas. Kita dapat mengetahui adanya suatu hukum dengan adanya illat, dan tidak adanya suatu hukum dengan tidak adanya illat.

B.     Macam-Macam Illat dan Cotohnya
Illat adakalanya tercantum dalam teks (manshushah) dan adakalanya ditemukan melalui ijtihad (mustanbathah). Illat yang mansushah adalah illat yang ditemukan dalam teks dalil. Sedangkan illat mustanbathah adalah illat yang ditetapkan melalui ijtihad (penggalian hukum) seorang mujtahid.[7]
Secara umum, illat mansushah (eksplisit) tidak menyebabkan adanya perbedaan pendapat diantara ulama. Berbeda halnya dengan illat mustanbathah (implisit). Sebab illat yang ini terkadang menyebabkan para ulama berbeda pendapat mengenai maksud hadits yang illatnya tidak disebutkan didalam teksnya. Karenanya, tidak ada perbedaan pendapat dalam memahami maksud hadits yang menyebutkan illatnya. Sebab illat dicantumkan di sana atau illat tersebut mansushah.
Perbedaan pendapat dalam hal ini baru tampak ketika ada perbedaan pendapat riwayat di dalam hadits. Sebagian ulama menggunakan riwayat hadits yang memuat illat (mansushah) di dalamnya, sementara sebagian ulama  yang lain menggunakan riwayat hadits yang tidak menyebutkan illat didalamnya.
Berikut  ini adalah contoh beberapa hadits yang menyebutkan illat didalamnya secara eksplisit dan pendapat para ulama yang memahaminya.
1.      Illat eksplisit (al-illah al-mansushah)
a.       Memabukkan dalam Khamr
Hadits:
كل شراب اسكر فهو حرام
“setiap minuman yang memabukkan adalah haram”[8]
Hadits:

كل مسكر خمر وكل مسكر حرام
“setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap yang memabukkan adalah haram”[9]
Hadits:
كل مسكر حرام وما اسكر منه الفرق فملء الكف منه حرام
“setiap yang memabukkan adalah haram. Minuman yang ketika banyak kadarnya memabukkan, maka seisi telapak tangan pun haram”[10]
Hadits-hadits di atas menyatakan secara eksplisit  bahwa setiap yang memabukkan, cairan maupun benda padat, matang maupun dimasak, dari perasan anggur atau dari bahan lainnya, adalah haram. Illat keharaman benda tersebut adalah memabukkan. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, sebab illat yang menyebabkan keharamannya tercantum dalam teks dalil (mansushah). Para ulama juga memahami hadits-hadits di atas bahwa setiap minuman yang tidak memabukkan adalah tidak haram, karena tidak ada illat memabukkan di dalamnya.
b.      Menunggu Dingin Shalat Zuhur
Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam kitabnya shahih al-Bukhari
عن أبي ذر الغفاري رضي الله عنه قال كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم في سفر, فأراد المؤذن أن يؤذن للظهر, فقال النبي صلى الله عليه وسلم: أبرد, ثم أراد أن يؤذن, فقال له: أبرد, حتى رأينا فيء التلول, فقال النبي صلى الله عليه وسلم: إن شدة الحر من فيح جهنم فإذا اشتد الحر فأبردوا بالصلاة
Dari Abu Dzar al-Ghifari RA, berkata: “kami bersama Nabi saw dalam suatu perjalanan. Saat muadzin hendak mengumandangkan azan, Nabi saw bersabda: “tunggu sampai dingin!” Sehingga kami melihat bayang-bayang condong, Kemudian Nabi saw bersabda: “sesungguhnya hawa yang sangat panas itu berasal dari neraka jahanam. Apabila hawa sangat panas, maka tunggu sampai udara dingin untuk shalat”[11]
Nabi saw menyatakan bahwa illat menunggu dingin dalam shalat zuhur adalah hawa yang sangat panas. Dari sini, kita dapat memahami bahwa perintah shalat zuhur dengan menunggu dingin adalah berkaitan dengan kondisi yang sangat panas. Jika kondisi ini tidak ada, maka menunggu dingin untuk shalat zuhur tidak di perintahkan.
c.       Berbeda dari Orang Musyrik
Imam al Bukhari dan Imam Muslim dalam kitabnya shahih al-Bukhari dan shahih Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA bahwa Rasulullah saw bersabda:
خالفوا المشركين أحفوا الشوارب و أوفروا اللحى
“tampillah berbeda dari kaum musyrik. Cukurlah kumis dan biarkanlah jenggot”[12]
Teks ini menyatakan bahwa Rasulullah saw memerintahkan orang-orang beriman untuk tampil berbeda dari kaum musyrikin. Yaitu dengan mencukur kumis dan membiarkan jenggot lebat. Karena kalimat yang kedua, yaitu: “cukurlah kumis dan biarkanlah jenggot” sebagaiman yang dikutip dari Imam Ibn Taimiyah rahimahullah, merupakan badal  (pengganti sebagai penjelas) dari kalimat yang pertama yaitu: “tampillah berbeda dari kaum musyrik.” Maka illat tersebut adalah mansushah (bersifat eksplisit) karena Rasulullah saw menyebutkannya di dalam teks hadits.
2.      Illat Implisit (al-illah al-mustanbathah)
Berbeda dengan al-illah al-mansushah (faktor penyebab secara eksplisit) yang lafadznya tercantum dalam teks dalil, illah mustanbathah adalah faktor penyebab yang ditemukan oleh seorang mujtahid saat menggali hukum dari teks-teks dalil. Karena illah mustanbathah dapat dideteksi melalui proses ijtihad, maka tidak heran apabila illat ini menjadi salah satu faktor adanya perbedaan pendapat di kalangan mujtahid. Karena illat dalam sebuah teks terkadang dapat diketahui oleh seorang mujtahid namun tidak diketahui oleh mujtahid yang lain.
Berikut ini adalah beberapa contoh illat mustanbathah (faktor penyebab secara implisit) dari Hadits Nabi saw.
a.       Bersegera Menuju Bani Quraizhah
Di antara contoh yang populer mengenai illat mustanbathah dari teks-teks dalil ini adalah riwayat dari beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum tentang Shalat Ashar di Bani Quraizhah. Imam  al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar RA, ia berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda:
لا يصلين أحد العصر إلا في بني قريظة, فأدرك بعضهم العصر في الطريق, فقال بعضهم: لا نصلي حتى نأتيها. وقال بعضهم: بل نصلي, لم يرد منا ذلك. فذكر للنبي صلى الله عليه وسلم فلم يعنف واحدا منهم
“janganlah sekali-kali seorang pun shalat ashar kecuali di Bani Quraiz
Hah.” Maka sebagian dari mereka mendapati waktu asar di perjalanan. Ada yang berkata: “Kita kerjakan shalat asar setelah tiba di sana (Bani Quraizhah).  Sebagian yang lai berkata: “Tidak, kita laksanakan shlat ashar di sini. Nabi tidak menghendaki kita mengakhirkan shlat ashar sampai malam.” Kemudian hal tersebut dilaporkan kepada Nabi Saw. Ternyata beliau tidak menyalahkan seorang pun dari mereka.[13]
Sebagian sahabat telah berijtihad pada masa Nabi saw dan shalat ashar di perjalanan. Mereka berpendapat bahwa Nabi saw tidak menghendaki mereka untuk mengakhirkan shalat ashar sampai larut malam. Yang bbeliau kehendaki adalah mereka bersegera menuju Bani Quraizhah, mereka melihat perintah beliau secara kontekstual. Sedangkan Sahabat yang berijtihad untuk melaksanakan shaklat ashar di Bani Quraizhah, kendati sudah masuk malam. Mereka melihatnya secara tekstual. Mereka adalah kaum tekstualis (ahli al-zhahir) dari generasi salaf. Sedangkan kelompok pertama adalah kaum kontekstualis (ashhab al-ra’y wa al-qiyas)dari generasi salaf juga.[14]
Kaum tekstualis adalah orang yang memahami hadits dari lafazhnya (lafzhiyyah), sedangkan kaum kontekstualitas adalah mereka yang memahami hadits dari segi maknanya (ma’nawiyyah). Kaum tekstualis mendasarkan pendapatnta dalam berijtihad pada lafazh hadits secara tekstual. Sedangkan kalangan kontekstualitas mendasarkan pendapatnya dalam memahami perintah Nabi saw pada illatnya dengan menggali illat tersebut.
Imam Ibn Hajar (w. 852 H)rahimahullah mengutipdari al-Suhaili dan lainnya, berkata: “hadits di atas mengandung faidah bahwa tidak tercela orang yang mengamalkan hadits atau ayat al-Quran dari segi lafazhnya. Begitu pula bagi yang mengamalkannya dengan cara menggali teks dalil untuk memperoleh maknanya secara khusus.”[15]
Dari kisah sahabat  radhiyallahu’anhum tentang Bani Quraizhah di atas, kita mengetahui bahwa di antara sahabat ada yang menggunakan metode pemahaman secara tekstual dalam berijtihad, dan di antara mereka juga ada yang menggunakan metode pemahaman secara kontekstual dalam berijtihad. Tidak diragukan bahwa hal ini adalah boleh. Kebolehan tersebut selama masih dalam ruang lingkup ijtihad. Semoga Allah swt meridhoi mereka semua.
b.      Perempuan Berhias di Masjid
Imam Muslim dalam kitabnya shahih muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA berkata:
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: لا تمنعوا نياءكم المساجد إذا استأذنكم إليها. فقال بلال بن عبدالله : قال (أي الراوي سالم بن عبدالله): فأقبل عليه عبدالله فسبه سبا سيئا ما سمعته سبه مثله, وقال: أخبرك عن رسول الله صلى الله عليه وسلم وتقول والله لنمنعهن
“Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kamu melarang kaum perempuanmu ke masjid apabila mereka meminta izin kepadamu untuk itu.” Bilal bin Abdullah, lanjut rawi, berkata: “Demi Allah, sungguh kami akan melarang mereka (pergi ke masjid).” Rawi, Salim bin Abdullah, mengatakan: “Abdullah (Ibn Umar) menfatangi Bilal lalu mecaci makinya dengan ucapan buruk yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Ia berkata: “Aku mengabarkan kepadamu dari Rasulullah saw, sedangkan kamu mengatakan: “Demi Allah, sengguh kami akan melarang mereka.”[16]
      Ummul Mukminin Aisyah RA pernah mengatakan:
لو أن رسول الله صلى الله عليه وسلم رأى ما أحدث النساء لمنعهن كما منعت نساء بني إسرائيل
“Seandainya Rasulullah saw melihat apa yang terjadi pada kaum perempuan (saat ini), tentu beliau akan melarang mereka pergi ke masjid sebagaiman dilarangnya kaum perrempuan Bani Israil.”[17]
      Tidak diragukan lagi bahwa sahabat yang agung Abdullah bin Umar RA telah mengamalkan lafazh hadits secara tekstual. Beliau berpendapat bahwa kaum perempuan  tidak boleh dilarang ke masjid. Sementara Ummul Mukminin Aisyah RA, begitu pula Bilal bin Abdullah mengamalkan Hadits dari segi maknanya. Keduanya beristinbat (menggali hukum dengan berijtihad) bahwa illat dari hadits tersebut, adalah tidak mengenakan parfum, tidak berhias, tidak memakai pakaian yang mencolok, tidak bercampur dengan kaum pria, bukan seorang gadis atau orang lain yang dapat menimbulkan fitnah, tidak terjadi gangguan yang mengkhawatirkan di jalan, dan lain sebagainya.[18]
      Berdasarkan hal ini, Imam Muslim menulis sebuah bab yang berjudul “Bab Khuruj al-Nisa ila al-Masajid Idza Lam Yatarattab ‘alaih fitnah wa annaha La Takhruj Mutathayyibah” (Bab Keluarnya Kaum Perempua ke Masjid Ketika Tidak Menimbulkan Fitnah dan Keluar Tanpa Wewangian)[19]Kemudian beliau meriwayatkan hadits-hadits mengenai hal tersebut.
      Saat Sayidina Abdullah bin Umar RA mencaci putranya Bilal bin Abdullah dengan makian yang buruk yang belum pernah beliau lontarkan sebelumnya, disebabkan perkataan Bilal, “Demi Allah, sungguh kami akan melarang mereka (ke masjid),” sedangkan Rasulullah saw telah bersabda, “Janganlah kamu melarang kaum perempuan ke masjid” sebagian kalangan menuduh Bilal bin Abdullah telah menyalahi Sunnah Rasulullah saw. Demikian pula dengan halnya Ummul Mukminin Aisyah RA. Padahal tuduhan itu tidak benar. Ijtihad yang dilakukan Ummul Mukmini Aisyah, begitu pula Bilal bin Abdullah bin Umar RA, tidak menyalahi teks dalil karena dua faktor:
      Pertama: Petunjuk teks dalil (dalalah al-nash al-syar’i) ada dua macam; dilalah al-manthuq (eksplisit atau tersurat) dan dalalah al-mafhum (implisit atau tersirat). Dalalah al-manthuq adalah cara memahami teks dalil melalui lafazhnya (tekstual), sedangkan dalalh al-mafhum adalah cara memahami dalil melalui maknanya (kontekstual). Maka, ijtihad Ummul Mukminin Aisyah RA tidak menyalahi nash, karena beliau menggunakan metode kontekstual dalam memahami nash, demikian pula ijtihad Bila bin Abdullah bin Umar RA.
      Kedua: Tidak adnya fitnah yang menjadi syarat dibolehkannya kaum perempuan keluar ke masjid pada dasrnya telah disebutkan oleh Nabi saw dalam Hadis-hadis yang lain. Kita baru saja menyimak pemaparan Imam Nawawi rahimahullah bahwa keluarnya kaum perempuan ke masjid adalah boleh dengan syarat tidak memakai wewangian, tidak berhias, tidak memakai pakaian yang mencolok, tidak bercampur dengan kaum pria, buka seorang gadis, dan lain sebagainya.
      Tidak ragu lagi bahwa semua itu terjadi pada masa Nabi. Adapun kaum perempuan yang keluar rumah menuju masjid dalam keadaan berparfum, bercampur dengan kaum pria, masih gadis, dan lain sebagainya, Rasulullah saw tidak menghendakinya. Karenanya, kebolehan untuk mkeluar tersebut menjadi hilang. Maka ijtihad Ummul Mukminin Aisyah, demikian pula Bilal bin Abdullah RA tidak menyalahi teks-teks hadis dalam permasalahan ini. Wallahu a’lam.
3.      Kurban Diganti Uang
Dalam hadis shahih riwayat imam al-Bukhari dan Muslim dari Anas RA,
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ضحى بكبشين أملحين أقرنين ذبحهما بيده وسمى وكبر ووضع رجله على صفاحهما
“Bahwa Rasulullah saw berkurban dengan dua ekor kambing yang sama-sama putih dan bertanduk. Beliau menyembelih sendiri keduanya. Beliau membaca basmalah dan bertakbir serta meletakkan telapak kaki beliau di samping leher masing-masing dari keduanya.”[20]
      Imam al-Tirmidzi dalam kitabnya sunan al-Tirmidzi dan imam Ibn Majah meriwayatkan dalam kitabnya sunan Ibn Majah juga meriwayatkan dari Aisyah RA bahwa Rasulullah saw bersabda:
ما عمل إبن آدم يوم النحر عملا أحب إلى الله من هراقة دم, وإنه ليأتي يوم القيامة بقرونها وأظلالفها وأشعارها , وإن دم ليقع منالله عزوجل بمكان قبل أن يقع على الأرض, فطيبوا بها نفسا
“Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam (manusia) pada hari raya Idul Adha yang lebih dicintai Allah daripada menyembelih binatang. Karena binatang itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, kuku-kuku kakinya dan bulu-bulunya. Sesungguhnya darah binatang itu akan sampai di sisi Allah Azza wa Jalla sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya.[21]
      Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa kurban merupakan ibadah yang diperintahkan dan tidak dianjurkan meninggalkannya bagi orang yang mampu melakukannya. Hanya saja fenomena yang terjadi sekarang, sebagaimana kita ketahui di Indonesia, banyak orang-orang fakir miskin setelah menerima daging kurban, mereka malah menjual daging-daging tersebut. Sebab mereka lebih memerlukan uang dari pada daging. Permasalahannya sekrang, manakala yang lebih utama beribadah kurban dengan menyembelih binatang atau bersedekah seharga binatang tersebut? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
      Madzhab pertama berpendapat bahwa menyembelih hewan kurban lebih utama dari pada bersedekah dengan harga hewan tersebut. Tampaknya sahabat yang agung Abdullah bin Umar ra di antara kalangan yang menganut pendapat ini. Karena beliau dikenal sebagai sahabat yang paling ketat dalam mencontoh Nabi saw hingga berpendapat dengan pola pikir kaum tekstualis atau memahami teks-teks dali melalui lafazhnya. Sehingga diantara generasi ulama salaf, misalnya Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu al-Zinad rahimahullah juga menggunakan pola pikir ini dalam pendapatnya.
      Mereka mengatakan bahwa Nabi saw dan para khalifah setelahnya menyembelih hewa kurban. Seandainya mereka mengetahui bahwa sedekah (dengan harga hewan tersebut) lebih utama dari menyembelih hewan kurban, tentu mereka akan beralih buntuk bersedekah. Karena sesungguhnya me ngutamakan bersedekah dari pada berkurban akan berdampak pada sikap mengabaikan perilaku yang disunnahkan Rasulullah saw.
      Madzhab kedua berpendapat bahwa bersedekah seharga hewan kurban lebih utama dari pada menyembelih hewannya. Di antara kalanagan yang berpendapay demikian adalah Ummul Mukminin Aisyah RA dan Bilal RA (muadzin) Rasulullah saw. Ummul Mukminin Aisyah RA berkata:
لأن اتصدق بخاتمي هذا أحب إلي من أهدي غلى البيت ألفا
“Sungguh aku bersedekah denga cincinku ini lebih aku sukai dari pada menyembelih seribu (hewan) dan kuhadiahkan ke Baitullah.”[22]
      Bilal muadzin Rasulullah saw berkata:
ما أبالي أن لا أضحي إلا بديك, ولأن أضعه يتيم قد ترب قوه فهو أحب إلي من أن أضحي
“Aku tidak peduli untuk berkurban hanya dengan seekor ayam jantan. Karena sungguh dengan memberikannya kepada anak yatim mulutnya berdebu karena tidak makan, lebih aku sukai dari pada berkurban.”[23]
      Di antara ulama yang mengikuti madzhab ini adalah imam al-Sya’bi dan Abu Tsaur rahimahullah.[24]
      Imam Ibn Qudamah menyanngah madzhab pertama dengan mengatakan bahwa pernyataan Aisyah di atas berkenaan dengan hewan dam, bukan hewan kurban. Perbedaan pendapat ulama tidak dalam maslah ini.[25] Sedangkan terhadap pernyataan Bilal muadzin Rasulullah saw, Imam Ibn Qudamah tidak mengomentarinya.[26]
      Demikianlah, apa yang dikatakan oleh Aisyah RA dan Bilal RA serta kalangan yang sependapat dengan keduanya dalam menentukan illat dalam syariat kurban. Illat tersebut adalah memberi makan kepada kaum fakir miskin dan membantu perekonomian mereka. Menurut mereka, kurban bukan merupakan ibadah qashirah (individual), melainkan ibadah muta’addiyah atau ibadah sosial. Karena illat ini tidak tercantum di dalam teks hadits, maka illat tersebut adalah illat mustanbathah. Wallahu a’lam.





PENUTUP

A.    Kesimpulan
Illat adalah kecacatan terselubung dan tidak nyata yang terdapat pada hadits yang telah ditetapkan ke-shahih-annya. Sebab itu ia menjadi salah satu syarat utama ke-shahih-an hadits dan bukan sebatas variabel pelengkap atau kaidah minor.
Tak dapat di ketahui penyakit-penyakit hadits, melainkan oleh ulama yang mempunya pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai kemampuan yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadits.
Di sisi lain, permasalahan ‘illat hadits juga memberikan arti penting dalam kehidupan beragama bahwa, tidak ada manusia yang memiliki kesempurnaan, bisa jadi secara lahiriahnya adalah baik, tetapi mengandung kecacatan yang tidak tampak. Tidak terkecuali para periwayat yang sangat menjaga kwalitas dirinya dalam meriwayatkan hadits.




















DAFTAR PUSTAKA


1.      Ya’qub, Ali Musthafa. Al-Thuruq Al-Shahihah Fi Al-Sunnah Al-Nabawiyah.     2016. Jakarta: Maktabah Dar Al-Sunnah
2.      Sohari Sahrani. Ulumul Hadits. 2015. Bogor: Ghalia Indonesia
3.      Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadits / Syaikh Manna’ Al-Qaththan; Penerjemah: Mifdhol Abdurrahman, Lc. Editor: Muhammad Ihsan,Lc. 2015. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

Download

























____________________________________
1 Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadits / Syaikh Manna’ Al-Qaththan; Penerjemah:   Mifdhol Abdurrahman, Lc. Editor: Muhammad Ihsan,Lc. 2015. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), hal 98
2 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits (Jakarta, Bulan Bintang, 1988), hal 24
3 Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (IAIN “SMH” Banten, 2005), hal 1
4 Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadits / Syaikh Manna’ Al-Qaththan; Penerjemah: Mifdhol Abdurrahman, Lc. Editor: Muhammad Ihsan,Lc. 2015. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), hal 98
5 al-Amidi, al-hikam fi al-ushul al-ahkam, II/136. Al-Amidi tidak mencantumkan definisi illat disini. Beliau hanya mencantumkan maknanya saja.
6 Muhammad Hassan Hitou, al-khulashah fi ushul al-fiqh, hal 112
7 Abd al-Karimbin Ali al-Namlah, al-muhadzdzab fi ushul al-fiqh al-muqarin V/220-221
8 Shahih al-Bukhari, III/321; Sunan Abu Dawud, IV/88
9 Shahih Muslim, II/200-201; Sunan Abu Dawud, IV/85; Sunan al-Tirmidzi, III/192; Sunan Ibn Majah, II/1124
10 Sunan Abu Dawud, IV/94
11 Shahih al-Bukhari, Bab Ibrad Shalah al-Zhuhr fi al-Safar, I/103
12 Shahih al-Bukhari, Bab I’fal al-Liha, V/321 dan Shahih Muslim, Bab Khishal al-Fithrah, I/153
13 Shahih al-Bukhari, I/123
14 Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muwaqqi’in, I/302
15 Imam Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XV/295
16 Shahih Muslim, I/187
17 Shahih Muslim, I/188
18 Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, IV/161-162
19 Shahih Muslim, I/187
20 Shahih al-Bukhari, Bab al-Takbir ‘ind al-Dzibh, V/2114; Shahih Muslim, Bab Istijab al Dhahiyyah Mubasyarah bi la Taukil wa al-Tasmiyyah wa al-Takbir, I/188
21 Sunan al-Tirmidzi, Bab Ma Ja’a fi Fadhl al-Udhhiyyah, IV/82; Sunan Ibn Majah, Bab Tsawab al-Udhhiyyah, II/1045
22 Ibn Qudamah, al-Mughni, XIII/361
23 Imam Abd al-Razzaq, al-Mushannaf, IV/385
24 Ibn Qudamah, al-Mughni, XIII/361-362
25 Ibid
26 Ibn Qudamah, al-Mughni, XIII/361





[1] Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadits / Syaikh Manna’ Al-Qaththan; Penerjemah:   Mifdhol Abdurrahman, Lc. Editor: Muhammad Ihsan,Lc. 2015. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), hal 98
[2] M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits (Jakarta, Bulan Bintang, 1988), hal 24
[3] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (IAIN “SMH” Banten, 2005), hal 1
[4] Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadits / Syaikh Manna’ Al-Qaththan; Penerjemah: Mifdhol Abdurrahman, Lc. Editor: Muhammad Ihsan,Lc. 2015. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), hal 98
[5] al-Amidi, al-hikam fi al-ushul al-ahkam, II/136. Al-Amidi tidak mencantumkan definisi illat disini. Beliau hanya mencantumkan maknanya saja
[6] Abd al-Karimbin Ali al-Namlah, al-muhadzdzab fi ushul al-fiqh al-muqarin V/220-221
[7] Abd al-Karimbin Ali al-Namlah, al-muhadzdzab fi ushul al-fiqh al-muqarin V/220-221
[8] Shahih al-Bukhari, III/321; Sunan Abu Dawud, IV/88
[9] Shahih Muslim, II/200-201; Sunan Abu Dawud, IV/85; Sunan al-Tirmidzi, III/192; Sunan Ibn Majah, II/1124
[10] Sunan Abu Dawud, IV/94
[11] Shahih al-Bukhari, Bab Ibrad Shalah al-Zhuhr fi al-Safar, I/103
[12] Shahih al-Bukhari, Bab I’fal al-Liha, V/321 dan Shahih Muslim, Bab Khishal al-Fithrah, I/153
[13] Shahih al-Bukhari, I/123
[14] Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muwaqqi’in, I/302
[15] Imam Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XV/295
[16] Shahih Muslim, I/187
[17] Shahih Muslim, I/188
[18] Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, IV/161-162
[19] Shahih Muslim, I/187

[20] Shahih al-Bukhari, Bab al-Takbir ‘ind al-Dzibh, V/2114; Shahih Muslim, Bab Istijab al Dhahiyyah Mubasyarah bi la Taukil wa al-Tasmiyyah wa al-Takbir, I/188
[21] Sunan al-Tirmidzi, Bab Ma Ja’a fi Fadhl al-Udhhiyyah, IV/82; Sunan Ibn Majah, Bab Tsawab al-Udhhiyyah, II/1045
[22] Ibn Qudamah, al-Mughni, XIII/361
[23] Imam Abd al-Razzaq, al-Mushannaf, IV/385
[24] Ibn Qudamah, al-Mughni, XIII/361-362
[25] Ibid
[26] Ibn Qudamah, al-Mughni, XIII/361

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

*Mengenal Lebih Dekat Dunia Jurnalistik, Pesantren Modern Primago Menggelar Pelatihan Jurnalistik Bersama Pimpinan Redaksi Gontornews.com.*

 *Mengenal Lebih Dekat Dunia Jurnalistik, Pesantren Modern Primago Menggelar Pelatihan Jurnalistik Bersama Pimpinan Redaksi Gontornews.com.*...