Senin, 23 Oktober 2017

Makalah Gharib Ayat Surat Al-Maun



BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara tentang Alqur’an memang bagai lautan yang tak bertepi, semakin jauh ia dikejar semakin luas pula jangkauannya. Dari aspek manapun al-qur’an dikaji dan diteliti, ia tidak pernah habis atau basi, bahkan semakin kaya dan selalu aktual. Mungkin itulah salah satu mukjizat yang terpancar dari kitabullah sebagai bukti kebenaran risalah Allah yang dititipkan pada Rasul-Nya, yaitu al-Islam.
Surah ini diturunkan di Makkah sesudah surah at-Takatsur. Nama surah ini diambil dari kata al-Ma’un yang diambil pada ayat terakhir. Menurut etimologi, al-Ma’un berarti banyak harta, berguna dan bermanfaat, kebaikan dan ketaatan , dan Zakat.
Ayat 1-3 turun dilatarbelakangi suatu kejadian yaitu ketika seorang anak yatim datang meminta sedikit daging yang telah disembelih itu namun ia tidak diberinya bahkan dihardik dan diusir.
 Ayat 4-7 turun berkenaan dengan kaum Munafikin yang suka mempertontonkan shalat (riya’) kepada kaum Mukminin dan meninggalkannya apabila tidak ada yang melihatnya serta menolak memberikan bantuan ataupun pinjaman. Ayat ini turun sebagai peringatan kepada orang-orang yang berbuat seperti ini.


BAB II
PEMBAHASAN
A.     Sebab Turunnya Surat Al-Maun
Menurut Quraish Shihab, surat al-Ma‘un oleh mayoritas ulama digolongkan ke dalam surat makkiyah, dan ada sebagian yang menggolongkannya ke dalam surat madaniyah. Pendapat lain yang dikutip olehnya menyatakan bahwa ayat pertama sampai ketiga turun di Mekah, dan sisanya turun di Madinah. Hal ini dengan alasan bahwa yang dikecam oleh ayat keempat dan seterusnya adalah orang-orang munafik yang keberadaannya baru dikenal setelah Nabi Muhammad saw. hijrah ke Madinah.[1]
Meskipun sebagian mufasir berpendapat bahwa awal surat ini turun di Mekah, sedangkan bagian akhir turun di Madinah, namun Quraish Shihab menjelaskan bahwa tidak ada alasan yang kuat untuk memisahkan waktu turun kedua bagian surat ini. Alasannya, redaksi dan kandungannya sangat berkaitan erat. Hal ini menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa keseluruhan ayat ini turun secara bersamaan. Hal ini terlihat dari kata penghubung fa’ pada awal bagian kedua yang berfungsi menghubungkan kalimat sebelumnya dengan kalimat sesudahnya. Adanya kata penghubung ini menunjukkan bahwa diantara kedua bagian dari surat ini merupakan hubungan sebab dan akibat.[2]

B.     Penafsiran Kata-kata

a.        أَرَأَيْتَ
Ibnu Katsir menuliskan (أَرَأَيْتَ -يَا مُحَمَّدُ-  الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ؟ وَهُوَ: الْمَعَادُ وَالْجَزَاءُ وَالثَّوَابُ) Apakah kamu mengetahui hai Muhammad, orang yang mendustakan ad diin, yaitu hari kebangkitan serta pemberian balasan dan pahala?.[3] Perbedaan pemakaian kata Hamzah dan Hal adalah kata Hamzah penanya benar tidak tahu sehingga ia bertanya dan minta diberi tahu sedangkan kata Hal penanya tahu apa yang ditanyakan tetapi belum tahu kejelasannya.[4]
b.         فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ
Kata يَدُعُّ berarti mendorong dengan keras. Kata ini tidak harus diartikan terbatas dalam golongan fisik, tetapi mencakup pula segala macam penganiayaan, gangguan,dan sikap tidak bersahabat terhadap mereka.  Walhasil, ayat ini melarang untuk membiarkan dan meninggalkan mereka.

         Ibnu katsir mengatakan (هُوَ الَّذِي يَقْهَرُ الْيَتِيمَ وَيَظْلِمُهُ حَقَّهُ، وَلَا يُطْعِمُهُ وَلَا يُحْسِنُ إِلَيْهِ) mereka adalah orang yang berbuat sewenang-wenang kepada anak yatim dan menzhalimi haknya, tidak memberinya makan serta tidak berbuat baik pula kepadanya.

c.          وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ

Kata يَحُضُّ yang artinya menganjurkan, mengisyaratkan bahwa mereka yang tidak mmiliki kelebihan apapun tetap dituntut paling sedikit berperan sebagai “penganjur pemberi pangan”. Peran ini dapat dilakukan oleh siapapun selama mereka merasakan penderitaan orang lain. Ayat diatas tidak memberi peluang sekecil apapun bagi setiap orang untuk berpartisipasi dan merasakan betapa perhatian harus diberikan kepada setiap orang lemah dan membutuhkan bantuan.[5]

Maksudnya adalah (وَلَا يَحُثُّ غَيْرُهُ عَلَى إِطْعَامِ المُحْتَاجِ مِنَ الطَعَامِ) tidak mendorong orang lain untuk memberikan makanan kepada orang yang membutuhkan.
Ibnu Katsir menuliskan dalam surat adh-Dhuha ayat 8 yaitu:
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ
“Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.”
Ibnu katsir menuliskan bahwa ayat ini semisal dengan firman Allah ta’ala dalam surat al fajr 17-18:
كَلا بَل لَا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ وَلا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin”.[6]

d.      فَوَيْلٌ
Pengertian Secara Bahasa Arab Al-Wail adalah isim ma’rifat dikhususkan pada nama sebuah neraka yaitu neraka wail. Sedangkan isim nakirohnya adalah wailun yang artinya celaka. Al-Wail secara bahasa (etimologi) artinya celaka, binasa.[7]
Beberapa contoh mengenai ayat-ayat Al-Qur’an tentang al-Wail dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut:

1.      Al-Qur’an surat Al Muthaffifin ayat 1
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ
Artinya: “Kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang curang”.

M. Quraish Syihab menafsirkan ayat tersebut adalah kecelakaan dan kerugian besar di dunia dan di akhirat bagi orang-orang yang curang, yaitu mereka yang apabila menerima takaran dan timbangan atas yakni dari orang lain, mereka minta yakni menurut secara sungguh agar dipenuhi atau bahkan cenderung minta dilebihkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka berbuat curang dengan mengurangi timbangan dan takaran dari apa yang mestinya mereka berikan.
Kata wail pada mulanya digunakan oleh pemakai bahasa Arab sebagai do’a jatuhnya siksa. Tetapi al-Qur’an menggunakannya dalam arti ancaman jatuhnya siksa, atau dalam arti satu lembah yang sangat curam di neraka.[8]

2.      Al-Qur’an surat Al Humazah ayat 1
وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ
Artinya: “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela”.

M. Quraish Shihab menafsirkan ayat diatas menyatakan: Wail yakni kecelakaan yang besar bagi setiap pengumpat dan pencela yakni yang melakukan keburukan tersebut secara berulang-ulang.
Kata wail digunakan untuk menggambarkan kesedihan, kecelakaan dan kenistaan. Kata ini juga digunakan untuk mendo’akan seseorang agar mendapatkan kecelakaan dan kenistaan itu. Dengan demikian ia dapat menggambarkan keadaan buruk yang sedangatau akan dialami.[9]


3.      Al-Qur’an surat Al Ma’un ayat 4
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ
Artinya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat”.

M. Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari esensi shalat mereka, yaitu orang-orang yang senantiasa berbuat riya, pamrih serta bermuka dua dan menghalangi dirinya dan orang lain untuk menolong dengan barang berguna.
Kata wail digunakan dalam arti kebinasaan dan kecelakaan yang menimpa akibat pelanggaran dan kedurhakaan. Ia biasanya digunakan sebagai ancaman. Ada juga yang memahaminya dalam arti nama dari salah satu tingkat siksaan neraka, dengan demikian ayat ini merupakan ancaman terjerumus ke neraka “wail”. Ada juga yang memahaminya dalam arti ancaman kecelakaan tanpa menetapkan waktu serta tempatnya.[10]


4.      Al-Qur’an surat Al Mursalat ayat 15
وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ
Artinya: “Kecelakaan pada hari itu bagi para pengingkar”.

M. Quraish Shihab dalam tafsirnya Al Misbah menjelaskan bahwa kata wail digunakan untuk menggambarkan kecelakaan, keburukan atau siksa yang besar. Ada Ulama yang memahaminya sebagai do’a tetapi lebih tepat memahaminya sebagai informasi tentang adanya ancaman. Penggunaannya pada awal kata menjadikannya mengandung makna pemantapan dan kelanggengan kecelakaan itu.
Pada surat ini bunyi surat ayat ke 15 itu di ulangi sebanyak sepuluh kali. Pengulangan tersebut menurut al-Qurthubi bagaikan isyarat bahwa kecelakaan dan siksa yang dijatuhkan itu dibagi-bagi antara para pendurhaka sesuai kadar pendurhakaan mereka. Setiap kedurhakaan seorang pendurhaka mempunyai jenis atau kadar siksaan yang berbeda dengan kedurhakaannya yang lain, karena sekian banyak kedurhakaan yang lebih buruk dari kedurhakaannya yang lain. Atas dasar itu sehingga siksaan tersebut terbagi-bagi.[11]

e.       عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ
Kata عَنْ berarti tentang atau menyangkut. Kalau ayat ini menggunakan redaksi صَلاتِهِمْ  maka ia merupakan kecaman terhadap orang-orang yang lalai serta lupa dalam shalatnya, dan ketika itu ia berarti celakalah orang-orang yang pada saat shalat, hatinya lalai, sehingga menuju kepada sesuatu selain shalatnya. Dengan kata lain, celakalah orang-orang yang tidak khusyu’ dalam shalatnya, atau celakalah orangorang yang lupa jumlah rakaat shalatnya. Untung ayat ini tidak berbunyi demikian, karena alangkah banyaknya di antara kita yang demikian itu halnya. Syukur bahwa ayat tersebut berbunyi ‘an shalaatihim sehingga kecelakaan tertuju kepada mereka yang lalai tentang esensi makna dan tujuan shalat.
Kata  ﺳﺎﻫﻮﻥ  terambil dari kata  ﺳﻬﺎ  atau lupa, lalai yakni seseorang yang hatinya menuju kepada sesuatu yang lain, sehingga pada akhirnya ia melalaikan tujuan pokoknya.[12]

f.       ﻳﺮﺍﺀﻭﻥ
Kata ﻳﺮﺍﺀﻭﻥ  terambil dari kata ﺭﺃﻯ yang berarti melihat. Dari akar kata yang sama lahir kata riya’ yakni siapa yang melakukan pekerjaannya sambil melihat manusia, sehingga jika tak ada yang melihatnya mereka tidak melakukannya. Kata itu juga berarti bahwa mereka ketika melakukan suatu pekerjaan selalu berusaha atau berkeinginan agar dilihat dan diperhatikan orang lain untuk mendapat pujian mereka.
Dari sini kata  ﺭﻳﺎﺀ atau ﻳﺮﺍﺀﻭﻥ  diartikan sebagai ”melakukan suatu pekerjaan bukan karena Allah semata, tetapi untuk mencari pujian dan popularitas”.[13]

g.      ﺎﻋﻮﻥ
Kata ﺎﻋﻮﻥ menurut  sementara  ulama terambil dari akar kata ﻣﻌﻮﻧﺔ yang berarti bantuan. Ada juga yang berpendapat bahwa al-ma’un adalah bentuk maf’ul dari kata  ﺃﻋﺎﻥ -ﻳﻌ  yang berarti membantu dengan bantuan yang jelas baik dengan alat-alat maupun fasilitas yang memudahkan tercapainya sesuatu yang diharapkan. Tetapi kedua pendapat di atas tidak populer. Tidak sedikit ulama yang berpendapat bahwa kata ini terambil dari kata ﻌﻦ  yang berarti sedikit.
Tidak kurang dari sepuluh pendapat tentang maksud kata al-ma’un atau bantuan (yang sedikit itu), antara lain:
1) Zakat
2) Harta benda
3) Alat-alat rumah tangga
4) Air
5) Keperluan sehari-hari seperti, periuk, piring, pacul, dan sebagainya.[14]



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Islam adalah diin yang sempurna, menyatukan aspek pribadi dan sosial maupun antara amal-amal hati, fikiran, lisan dan perbuatan. Tidak cukup seseorang itu rajin beribadah secara pribadi namun buruk hubungannya dengan sesamanya. Sebagaimana tidak cukup secara lahiriyah seorang itu terlihat tunduk dan patuh kepada Allah sedangkan hatinya tidak berharap kepada Allah. Begitu pula sebaliknya.
Hakikat ibadah berupa perintah dan larangan adalah untuk kebaikan bagi manusia, ibnu katsir  berpendapat bahwa ibadah adalah sumber kebahagiaan dan ketenangan hati. Proses manusia menempuh ujian dalam menepati perintah dan larangan Allah akan menjadikannya berbahagia, karena ibadahlah hakikat kehidupan yang sesungguhnya.





DAFTAR PUSTAKA

Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Volume 15, 2002. Jakarta: Lentera Hati


Ahmad Warson Munawir, Kamus al Munawir, 1997. Surabaya: Pustaka Progresif







[1]  Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Volume 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 546
[2] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Volume 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm.  649

[3] http://sigitsuhandoyo.blogspot.co.id/2012/06/tafsir-tadabbur-surat-al-mauun.html
[4] https://subpokbarab.wordpress.com/lesson/istifham/
[5] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Volume 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 645
[6] http://sigitsuhandoyo.blogspot.co.id/2012/06/tafsir-tadabbur-surat-al-mauun.html
[7] Ahmad Warson Munawir, Kamus al Munawir, Pustaka Progresif, Surabaya, 1997, hlm.
1586
[8] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Volume 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 121-122
[9] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Volume 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 771-772
[10] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Volume 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 548
[11] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Volume 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 683-684
[12] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Volume 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 649
[13] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Volume 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 650
[14] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Volume 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 650

Silahkan download

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

*Mengenal Lebih Dekat Dunia Jurnalistik, Pesantren Modern Primago Menggelar Pelatihan Jurnalistik Bersama Pimpinan Redaksi Gontornews.com.*

 *Mengenal Lebih Dekat Dunia Jurnalistik, Pesantren Modern Primago Menggelar Pelatihan Jurnalistik Bersama Pimpinan Redaksi Gontornews.com.*...