BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara tentang Alqur’an memang bagai lautan yang tak bertepi, semakin
jauh ia dikejar semakin luas pula jangkauannya. Dari aspek manapun al-qur’an
dikaji dan diteliti, ia tidak pernah habis atau basi, bahkan semakin kaya dan
selalu aktual. Mungkin itulah salah satu mukjizat yang terpancar dari
kitabullah sebagai bukti kebenaran risalah Allah yang dititipkan pada
Rasul-Nya, yaitu al-Islam.
Surah ini
diturunkan di Makkah sesudah surah at-Takatsur. Nama surah ini diambil dari
kata al-Ma’un yang diambil pada ayat terakhir. Menurut etimologi, al-Ma’un
berarti banyak harta, berguna dan bermanfaat, kebaikan dan ketaatan , dan
Zakat.
Ayat 1-3 turun
dilatarbelakangi suatu kejadian yaitu ketika seorang anak yatim datang meminta
sedikit daging yang telah disembelih itu namun ia tidak diberinya
bahkan dihardik dan diusir.
Ayat 4-7 turun berkenaan dengan kaum
Munafikin yang suka mempertontonkan shalat (riya’) kepada kaum Mukminin dan meninggalkannya
apabila tidak ada yang melihatnya serta menolak memberikan bantuan ataupun
pinjaman. Ayat ini turun sebagai peringatan kepada orang-orang yang berbuat
seperti ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sebab Turunnya Surat Al-Maun
Menurut Quraish
Shihab, surat al-Ma‘un oleh mayoritas ulama digolongkan ke dalam surat
makkiyah, dan ada sebagian yang menggolongkannya ke dalam surat madaniyah.
Pendapat lain yang dikutip olehnya menyatakan bahwa ayat pertama sampai ketiga
turun di Mekah, dan sisanya turun di Madinah. Hal ini dengan alasan bahwa yang
dikecam oleh ayat keempat dan seterusnya adalah orang-orang munafik yang
keberadaannya baru dikenal setelah Nabi Muhammad saw. hijrah ke Madinah.[1]
Meskipun
sebagian mufasir berpendapat bahwa awal surat ini turun di Mekah, sedangkan
bagian akhir turun di Madinah, namun Quraish Shihab menjelaskan bahwa tidak ada
alasan yang kuat untuk memisahkan waktu turun kedua bagian surat ini.
Alasannya, redaksi dan kandungannya sangat berkaitan erat. Hal ini menguatkan
pendapat yang mengatakan bahwa keseluruhan ayat ini turun secara bersamaan. Hal
ini terlihat dari kata penghubung fa’ pada awal bagian kedua yang berfungsi
menghubungkan kalimat sebelumnya dengan kalimat sesudahnya. Adanya kata
penghubung ini menunjukkan bahwa diantara kedua bagian dari surat ini merupakan
hubungan sebab dan akibat.[2]
B.
Penafsiran Kata-kata
a.
أَرَأَيْتَ
Ibnu Katsir
menuliskan (أَرَأَيْتَ -يَا
مُحَمَّدُ- الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ؟ وَهُوَ: الْمَعَادُ وَالْجَزَاءُ
وَالثَّوَابُ) Apakah kamu mengetahui hai Muhammad, orang yang mendustakan ad
diin, yaitu hari kebangkitan serta pemberian balasan dan pahala?.[3]
Perbedaan pemakaian kata Hamzah dan Hal adalah kata Hamzah
penanya benar tidak tahu sehingga ia bertanya dan minta diberi tahu sedangkan
kata Hal penanya tahu apa yang ditanyakan tetapi belum tahu kejelasannya.[4]
b.
فَذَٰلِكَ
الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ
Kata يَدُعُّ berarti mendorong
dengan keras. Kata ini tidak harus diartikan terbatas dalam golongan fisik,
tetapi mencakup pula segala macam penganiayaan, gangguan,dan sikap tidak
bersahabat terhadap mereka. Walhasil,
ayat ini melarang untuk membiarkan dan meninggalkan mereka.
Ibnu katsir mengatakan (هُوَ الَّذِي يَقْهَرُ الْيَتِيمَ وَيَظْلِمُهُ حَقَّهُ، وَلَا يُطْعِمُهُ وَلَا يُحْسِنُ إِلَيْهِ) mereka adalah orang yang berbuat sewenang-wenang kepada anak yatim dan menzhalimi haknya, tidak memberinya makan serta tidak berbuat baik pula kepadanya.
c.
وَلَا يَحُضُّ
عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ
Kata
يَحُضُّ yang artinya
menganjurkan, mengisyaratkan bahwa mereka yang tidak mmiliki kelebihan apapun
tetap dituntut paling sedikit berperan sebagai “penganjur pemberi pangan”.
Peran ini dapat dilakukan oleh siapapun selama mereka merasakan penderitaan
orang lain. Ayat diatas tidak memberi peluang sekecil apapun bagi setiap orang
untuk berpartisipasi dan merasakan betapa perhatian harus diberikan kepada
setiap orang lemah dan membutuhkan bantuan.[5]
Maksudnya adalah (وَلَا يَحُثُّ غَيْرُهُ عَلَى إِطْعَامِ المُحْتَاجِ
مِنَ الطَعَامِ) tidak mendorong orang lain untuk memberikan makanan kepada
orang yang membutuhkan.
Ibnu Katsir
menuliskan dalam surat adh-Dhuha ayat 8 yaitu:
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ
“Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku
sewenang-wenang.”
Ibnu katsir menuliskan bahwa ayat ini semisal dengan firman
Allah ta’ala dalam surat al fajr 17-18:
كَلا بَل لَا تُكْرِمُونَ
الْيَتِيمَ وَلا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
“Sekali-kali
tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak
saling mengajak memberi makan orang miskin”.[6]
d.
فَوَيْلٌ
Pengertian Secara Bahasa Arab Al-Wail adalah isim ma’rifat
dikhususkan pada nama sebuah neraka yaitu neraka wail. Sedangkan isim
nakirohnya adalah wailun yang artinya celaka. Al-Wail secara bahasa (etimologi)
artinya celaka, binasa.[7]
Beberapa contoh mengenai ayat-ayat
Al-Qur’an tentang al-Wail dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1.
Al-Qur’an surat
Al Muthaffifin ayat 1
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ
Artinya: “Kecelakaan yang besarlah bagi
orang-orang yang curang”.
M. Quraish Syihab menafsirkan ayat
tersebut adalah kecelakaan dan kerugian besar di dunia dan di akhirat bagi
orang-orang yang curang, yaitu mereka yang apabila menerima takaran dan timbangan
atas yakni dari orang lain, mereka minta yakni menurut secara sungguh agar dipenuhi
atau bahkan cenderung minta dilebihkan, dan apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka berbuat curang dengan mengurangi timbangan
dan takaran dari apa yang mestinya mereka berikan.
Kata wail pada mulanya digunakan
oleh pemakai bahasa Arab sebagai do’a jatuhnya siksa. Tetapi al-Qur’an
menggunakannya dalam arti ancaman jatuhnya siksa, atau dalam arti satu lembah
yang sangat curam di neraka.[8]
2.
Al-Qur’an surat
Al Humazah ayat 1
وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ
Artinya: “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat
lagi pencela”.
M. Quraish Shihab menafsirkan ayat
diatas menyatakan: Wail yakni kecelakaan yang besar bagi setiap pengumpat dan
pencela yakni yang melakukan keburukan tersebut secara berulang-ulang.
Kata wail digunakan untuk
menggambarkan kesedihan, kecelakaan dan kenistaan. Kata ini juga digunakan
untuk mendo’akan seseorang agar mendapatkan kecelakaan dan kenistaan itu.
Dengan demikian ia dapat menggambarkan keadaan buruk yang sedangatau akan
dialami.[9]
3.
Al-Qur’an surat
Al Ma’un ayat 4
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ
Artinya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang
yang shalat”.
M. Quraish Shihab menafsirkan ayat
tersebut maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu
orang-orang yang lalai dari esensi shalat mereka, yaitu orang-orang yang
senantiasa berbuat riya,
pamrih serta bermuka dua dan
menghalangi dirinya dan orang lain untuk menolong dengan barang berguna.
Kata wail digunakan dalam arti
kebinasaan dan kecelakaan yang menimpa akibat pelanggaran dan kedurhakaan. Ia
biasanya digunakan sebagai ancaman. Ada juga yang memahaminya dalam arti nama
dari salah satu tingkat siksaan neraka, dengan demikian ayat ini merupakan
ancaman terjerumus ke neraka “wail”. Ada juga yang memahaminya dalam arti
ancaman kecelakaan tanpa menetapkan waktu serta tempatnya.[10]
4.
Al-Qur’an surat Al Mursalat ayat 15
وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ
Artinya:
“Kecelakaan pada hari itu bagi para pengingkar”.
M. Quraish Shihab dalam tafsirnya Al
Misbah menjelaskan bahwa kata wail digunakan untuk menggambarkan kecelakaan,
keburukan atau siksa yang besar. Ada Ulama yang memahaminya sebagai do’a tetapi
lebih tepat memahaminya sebagai informasi tentang adanya ancaman. Penggunaannya
pada awal kata menjadikannya mengandung makna pemantapan dan kelanggengan
kecelakaan itu.
Pada surat ini bunyi surat ayat ke 15 itu di
ulangi sebanyak sepuluh kali. Pengulangan tersebut menurut al-Qurthubi bagaikan
isyarat bahwa kecelakaan dan siksa yang dijatuhkan itu dibagi-bagi antara para
pendurhaka sesuai kadar pendurhakaan mereka. Setiap kedurhakaan seorang
pendurhaka mempunyai jenis atau kadar siksaan yang berbeda dengan
kedurhakaannya yang lain, karena sekian banyak kedurhakaan yang lebih buruk
dari kedurhakaannya yang lain. Atas dasar itu sehingga siksaan tersebut
terbagi-bagi.[11]
e.
عَنْ
صَلاتِهِمْ سَاهُونَ
Kata عَنْ berarti tentang atau menyangkut. Kalau
ayat ini menggunakan redaksi صَلاتِهِمْ maka ia merupakan kecaman terhadap orang-orang
yang lalai serta lupa dalam shalatnya, dan ketika itu ia berarti celakalah
orang-orang yang pada saat shalat, hatinya lalai, sehingga menuju kepada
sesuatu selain shalatnya. Dengan kata lain, celakalah orang-orang yang tidak
khusyu’ dalam shalatnya, atau celakalah orangorang yang lupa jumlah rakaat
shalatnya. Untung ayat ini tidak berbunyi demikian, karena alangkah banyaknya
di antara kita yang demikian itu halnya. Syukur bahwa ayat tersebut berbunyi
‘an shalaatihim sehingga kecelakaan tertuju kepada mereka yang lalai tentang
esensi makna dan tujuan shalat.
Kata ﺳﺎﻫﻮﻥ terambil dari kata ﺳﻬﺎ atau lupa, lalai yakni seseorang yang hatinya
menuju kepada sesuatu yang lain, sehingga pada akhirnya ia melalaikan tujuan
pokoknya.[12]
f.
ﻳﺮﺍﺀﻭﻥ
Kata ﻳﺮﺍﺀﻭﻥ terambil
dari kata ﺭﺃﻯ yang
berarti melihat. Dari akar kata yang sama lahir kata riya’ yakni siapa yang
melakukan pekerjaannya sambil melihat manusia, sehingga jika tak ada yang
melihatnya mereka tidak melakukannya. Kata itu juga berarti bahwa mereka ketika
melakukan suatu pekerjaan selalu berusaha atau berkeinginan agar dilihat dan
diperhatikan orang lain untuk mendapat pujian mereka.
Dari sini kata
ﺭﻳﺎﺀ atau
ﻳﺮﺍﺀﻭﻥ diartikan sebagai ”melakukan suatu pekerjaan
bukan karena Allah semata, tetapi untuk mencari pujian dan popularitas”.[13]
g.
ﺍﳌﺎﻋﻮﻥ
Kata ﺍﳌﺎﻋﻮﻥ menurut sementara ulama terambil dari akar kata ﻣﻌﻮﻧﺔ yang berarti bantuan. Ada juga yang berpendapat bahwa al-ma’un
adalah bentuk maf’ul dari kata ﺃﻋﺎﻥ -ﻳﻌﲔ yang berarti membantu
dengan bantuan yang jelas baik dengan alat-alat maupun fasilitas yang
memudahkan tercapainya sesuatu yang diharapkan. Tetapi kedua pendapat di atas
tidak populer. Tidak sedikit ulama yang berpendapat bahwa kata ini terambil
dari kata ﺍﳌﻌﻦ yang berarti sedikit.
Tidak kurang dari sepuluh pendapat tentang
maksud kata al-ma’un atau bantuan (yang sedikit itu), antara lain:
1) Zakat
2) Harta benda
3) Alat-alat rumah tangga
4) Air
5) Keperluan sehari-hari seperti, periuk,
piring, pacul, dan sebagainya.[14]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Islam adalah diin yang sempurna, menyatukan aspek pribadi dan
sosial maupun antara amal-amal hati, fikiran, lisan dan perbuatan. Tidak cukup
seseorang itu rajin beribadah secara pribadi namun buruk hubungannya dengan
sesamanya. Sebagaimana tidak cukup secara lahiriyah seorang itu terlihat tunduk
dan patuh kepada Allah sedangkan hatinya tidak berharap kepada Allah. Begitu
pula sebaliknya.
Hakikat ibadah berupa perintah dan larangan adalah untuk kebaikan
bagi manusia, ibnu katsir berpendapat
bahwa ibadah adalah sumber kebahagiaan dan ketenangan hati. Proses manusia
menempuh ujian dalam menepati perintah dan larangan Allah akan menjadikannya
berbahagia, karena ibadahlah hakikat kehidupan yang sesungguhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Quraish
Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Volume 15, 2002.
Jakarta: Lentera Hati
Ahmad
Warson Munawir, Kamus al Munawir, 1997. Surabaya: Pustaka Progresif
[1] Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Volume 15 (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm. 546
[2] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah;
Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Volume 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
hlm. 649
[3]
http://sigitsuhandoyo.blogspot.co.id/2012/06/tafsir-tadabbur-surat-al-mauun.html
[4]
https://subpokbarab.wordpress.com/lesson/istifham/
[5]
Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Volume 15 (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm. 645
[6]
http://sigitsuhandoyo.blogspot.co.id/2012/06/tafsir-tadabbur-surat-al-mauun.html
[7]
Ahmad Warson Munawir, Kamus al Munawir, Pustaka Progresif, Surabaya, 1997, hlm.
1586
[8]
Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Volume 15 (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm. 121-122
[9]
Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Volume 15 (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm. 771-772
[10]
Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Volume 15 (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm. 548
[11]
Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Volume 15 (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm. 683-684
[12]
Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Volume 15 (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), hlm. 649
[13]
Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Volume 15 (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm. 650
[14]
Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Volume 15 (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm. 650