[
BAB
I
PENDAHULUAN
Hidup yang tentram, damai, dan bahagia merupakan idaman setiap keluarga
untuk dapat meraih kehidupan tersebut. Islam memberikan solusi dengan cara
melakukan pernikahan. Pernikahan bukan saja merupakan suatu jalan yang amat
mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga
dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum yang
lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan
antara satu dengan yang lainnya. Islam mengatur hukum perkawinan tersebut.
Pernikahan merupakan suatu hal yang penting dan mulia
untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan. Disamping itu, pernikahan
merupakan salah satu asas pokok hidup yang utama
dalam pergaulan masyarakat. Tanpa pernikahan tidak akan terbentuk rumah tangga
yang baik, teratur, dan bahagia serta akan timbul hal-hal yang tidak diinginkan
dalam masyarakat. Misalnya, manusia tidak dapat mengekang hawa nafsunya,
sehingga timbul pemerkosaan dan bencana di masyarakat. Yang tidak kalah penting
dari itu adalah bahwa pernikahan merupakan salah satu bentuk pelaksanaan
perintah Allah dan rasul-Nya.
Dalam makalah ini penulis hanya menekankan secara umumnya
saja. Oleh karena itu, kesempurnaan makalah ini penulis menyadari masih sangatlah jauh dari kesempurnaan, sehingga mungkin bagi kita untuk terus belajar dan mendalaminya di
kesempatan yang mendatang.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
nikah dalam Islam
Pernikahan dalam
literatur fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini kata yang terpakai dalam
kehidupan sehari-hari orang arab dan banyak terdapat dalam al-Quran dan hadits
Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat
dalam al-Quran dengan arti kawin, penjelasan ini terdapat dalam surat an-Nisa
ayat 3:
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut
tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinlah perempuan-perempuan
lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat orang, jika kamu takut tidak akan
berlaku adil, cukup satu orang saja, atau budak-budak yang kalian miliki.”
Demikian
pula banyak terdapat kata za-wa-ja
dalam al-Quran dalam arti kawin, seperti pada surat al-Ahzab ayat 37:
...فَلَمَّا
قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ...
“...maka tatkala Zaid
mengakhiri keperluan (menceraikan), Kami kawinkan kamu dengan dia, supaya tidak
ada keberatan bagi orang mukmin untuk mengawini istri-istri anak-anak angkat
mereka....”
Secara
arti kata nikah atau zawaja berarti “bergabung
atau hubungan kelamin” dan
juga berarti “akad”. Dalam arti terminologis dalam kitab-kitab fiqih banyak
diartikan “akad atau perjanjian yang
mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin hubungan kelamin dengan
menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja”.[1].
Dengan demikian pernikahan dinamai zawaj
yang berarti keberpasangan disamping dinamai nikah yang berarti penyatuan
ruhani dan jasmani. Suami dinamai zauj
dan istri pun demikian.[2]
Ada
pula para mujahid sepakat bahwa nikah adalah suatu ikatan yang dianjurkan
syariat, orang yang sudah berkeinginan untuk menikah dan khawatir terjerumus ke
dalam perbuatan zina, sangat dianjurkan untuk melaksanakan nikah. Yang demikian
adalah lebih utama daripada haji, shalat, jihad dan puasa sunnah, inilah menurut pandangan para imam mazhab.[3]
2. Awal mula manusia
diciptakan
Laki-laki
dan perempuan itu dijadikan berhubungan dan saling melengkapi dalam rangka
menghasilkan keturunan yang banyak. Hal ini disebutkan dalam al-Quran surat
al-Nisa ayat 1:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي
خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا
رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ
وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai sekalian manusia
bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari satu diri, dan
daripadanya Allah menciptakan istrinya dan daripadanya kedua Allah
memperkembangbiakan laki-laki dan permpuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”[4]
Penjelasan ayat
Ayat
diatas mengajak seluruh manusia yang beriman dan yang tidak beriman untuk bertaqwa
kepada allah yang telah menciptakan manusia. Adapun ayat dalam surat ini,
konteknya untuk menjelaskan banyak dan berkembangbiaknya mereka dari seorang
ayah, yakni Adam dan seorang ibu , yakni Hawa. Ini dipahami dari pernyataan Allah memperkembangbiakan laki-laki dan
permpuan yang banyak dan tentunya ini sesuai jika kata “nafsin wahidatin” dipahami dalam arti ayah manusia seluruhnya
yakni Adam dan pasangannya yakni Hawa lahir laki-laki dan perempuan yang
banyak.[5]
Al-Qaffal
mengatakan, bahwa makna yang dimaksud dalam ayat ini ialah, sesungguhya Allah
menciptakan setiap orang diantara kalian berasal dari satu
jiwa. Kemudian Dia menjadikan istri untuknya yang dia ciptakan dari dirinya,
sama sebagai manusianya dan sejenis.[6]
Penegasannya
bahwa khalaqa minha zaujaha Allah
menciptakan darinya, yakni dari nafsin
wahidah itu pasangannya, mengandung makna bahwa pasangan suami istri
hendaknya menyatu dalam perasaan dan pikirannya, dalam cita dan harapannya,
dalam gerak dan langkahnya, bahkan dalam menarik dan menghembuskan nafasnya. pernyataan
Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Penggalan ayat ini
menginformasikan bahwa populasi manusia pada mulanya bersumber dari satu
pasangan, kemudian satu pasangan itu berkembangbiak sehingga menjadi sekian
banyak pasangan yang terus berkembangbiak, demikian seterusnya hingga setiap
saat bertambah.[7]
Adapun
penguat lain dari hadits terhadap penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam yang
diriwayatkan dari Zaidah, dari Maisarah al-Asyja’I, dari Abu Hazim, dari Abu
Hurairah RA, bahwa Nabi bersabda:
اسْتَوْصُوا
بِالنساءِ خَيْرًا، فإنَّ المرأةَ خُلقتْ من ضِلَعٍ ، وإنَّ أَعْوَجَ شيءٍ في
الضِّلعِ أَعْلَاه ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ ، وإن تركتَه لم يزلْ
أَعْوَجَ ، فاستوصُوا بالنِّساءِ خَيْرًا
““Nasihatilah
para wanita kerana wanita diciptakan daripada tulang rusuk yang bengkok dan
yang paling bengkok daripada tulang rusuk itu adalah pangkalnya, jika
kamu cuba untuk meluruskannya maka ia akan patah, namun bilamana kamu biarkan
ia maka ia akan tetap bengkok, untuk itu, nasihatilah para wanita”. (HR.
Bukhari dan Muslim).[8]
Selain itu terdapat hadits lain yang
diriwayatkan oleh Sufyan, dari az-Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah RA,
bahwa Nabi bersabda:
إنَّ المرأةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، لَنْ تستقيمَ لَكَ علَى طريقَةٍ،
فإِنَّ استمْتَعْتَ بِها استمتعْتَ بِها وبِها عِوَجٌ، وإِنْ ذهبْتَ تقيمُها
كسرْتَهَا، وكسرُها طلاقُها
““Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk dan tidak dapat
kamu luruskan dengan cara bagaimanapun, jika kamu hendak bersenang-senang
dengannya, kamu dapat bersenang-senang dengannya dan dia tetap saja bengkok,
namun jika kamu berusaha meluruskannya, nescaya dia akan patah dan
mematahkannya adalah menceraikannya”.[9]
3.
Ayat-ayat
pernikahan
dalam al-Quran
Perkawinan
itu dijadikan sebagai salah satu ayat-ayat dari kebesaran Allah. Hal ini
disebutkan dalam al-Quran surat al-Rum ayat 21:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ
أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan diantara
tanda-tanda kekuatan-Nya ialah Ia menciptakan untuk kamu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan
dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
mengetahui.”[10]
Penjelasan ayat
Ayat
diatas menguraikan pengembangbiakan manusia serta bukti kuasa dan rahmat Allah
dalam hal tersebut. Dalam ayat ini terdapat kata anfusikum yaitu bentuk jamak dari kata nafs yang antara lain berarti jenis atau diri atau totalitas
sesuatu. Pernyataan bahwa pasangan manusia diciptakan dari jenisnya,
sementara ulama menyatakan bahwa
Allah tidak membolehkan manusia
mengawini selain jenisnya, dan bahwa jenisnya itu adalah yang merupakan
pasangannya. Dengan demikian, perkawinan antara lain jenis atau pelampiasan
nafsu seksual melalui makhluk lain, bahkan yang bukan pasangan, sama sekali
tidak dibenarkan oleh Allah.
Lalu
dilanjutkan dengan kata azwaja yang
merupakan kata jamak dari zauj
berarti apa atau siapa yang menjadikan sesuatu yang tunggal/satu menjadi dua
dengan kehadirannya. Litaskunu mengandung
makna cenderung/menuju kepadanya sehingga penggalan ayat diatas bermakna Allah
menjadikan pasangan suami istri masing-masing merasakan ketenangan disamping
pasangannya serta cenderung kepadanya. Dan dilanjutkan dengan kata mawaaddah wa rahmah, mawaddah adalah
kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk dengan kata lain mawaddah adalah jalan menuju
terabaikannya pengutamaan kenikmatan duniawi, bahkan semua kenikmatan untuk
siapa saja tertuju kepadanya. Sementara ulama menjadikan tahap rahmat pada
suami dan istri lahir bersama lahirnya anak atau ketika pasangan suami itu
telah menacapai usia lanjut yakni tertuju kepada yang dirahmati, sedang yang
dirahmati itu dalam keadaan butuh, dengan demikian rahmat tertuju kepada orang
yang lemah dan kelemahan dan kebutuhan itu sangat dirasakan dimasa tua. Betapapun, baik mawaddah dan rahmat, keduanya adalah
anugerah dari Allah yang sangat nyata.[11]
Dari suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan
menyayangi yaitu al-mawaddah,
sehingga rasa tanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi. Selanjutnya para
mufasir mengatakan bahwa dari as-sakinah
dan al-mawaddah inilah muncul ar-rahmah, yaitu keturunan yang sehat
dan penuh berkat dari Allah, sekaligus sebagai pencurahan rasa cinta dan kasih
suami istridan anak-anak mereka.[12]
Berdasarkan ayat diatas
jelas bahwa Islam menginginkan pasangan suami istri yang telah membina suatu
rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin
keharmonisan diantara suami istri yang saling mengasihi dan menyayangi itu
sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya.[13]
4. Hukum
pernikahan dalam Islam
Perkawinan adalah suatu
perbuatan yang diperintahkan oleh Allah dan juga disuruh oleh Nabi. Dari begitu
banyak suruhan Allah dan Nabi untuk melaksanakan perkawinan itu maka perkawinan
adalah perbuatan yang lebih disenangi Allah dan Nabi untuk dilakukan. Atas
dasar ini menurut asalnya adalah sunnah menurut pandangan Jumhur ulama. Hal ini
berlaku secara umum. Namun karena ada tujuan mulia yang hendak dicapai dari
perkawinan itu dan yang melakukan perkawinan itu berbeda pula kondisinya serta
situasi yang melingkupi suasana perkawinan itu berbeda pula, maka secara rinci
jumhur ulama menyatakan hokum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang
tertentu, sebagai berikut:
a.
Wajib
bagi seorang yang sudah mampu secada finansial dan juga sangat beresiko
jatuhbkedalam perzinaan. Hal itu dikarenakan menjaga diri dari zina adalah
wajib.
b.
Sunah
bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah pantas untuk kawin
dan telah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkan perkawinan.
c.
Makruh
bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum berkeinginan untuk kawin,
sedangkan pembekalan untuk perkawinan juga belum ada.
d.
Haram
bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan syara’ untuk
melakukan perkawinan atau ia yakin perkawinan itu tidak akan mencapai tujuan
syara’, sedangkan dia meyakini perkawinan itu akan merusak kehidupan
pasangannya.
e.
Mubah
bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk kawin dan
perkawinan itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apa-apa kepada siapapun.[14]
5.
Hikmah
pernikahan
Pernikahan
menjadikan proses keberlangsungan hidup manusia didunia ini berlanjut,
darigenerasi ke generasi. Selain juga menjadi penyalur nafsu birahi, melalui
hubungan suami istri serta menghindari godaan syetan yang menjerumuskan.
Pernikahan juga berfungsi untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan
berdasarkan pada asas saling menolong dalam wilayah kasih sayang dan penghormatan
muslimah berkewajiban untuk mengerjakan tugas didalam rumah tangganya seperti
mengatur rumah, mendidik anak, dan menciptakan suasana yang menyenangkan.
Supaya suami dapat mengerjakan kewajibannya dengan baik untuk kepentingan dunia
dan akhirat.[15]
a.
Memenuhi
tuntutan fitrah, makusdnya manusia diciptakan oelh Allah dengan memiliki
insting untuk tertarik dengan lawan jenisnya.
b.
Mewujudkan
ketenangan jiwa dan kemantapan batin karenanya lah tercipta perasaan-perasaa
cinta dan kasih.
c.
Menghindari
dekadensi moral, karena Allah telah menganugerahkan manusia dengan berbagai
nikmat, salah satunya insting untuk melakukan relasi seksual. Maka agar tidak
terjadi akibat yang negatif harus diberi frame yang membatasinya, karena
nafsunya akan berusaha untuk memenuhi insting tersebut dengan cara yang
terlarang.
d.
Mampu
membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan yang
diciptakan.[16]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Nikah
dalam arti terminologis dalam kitab-kitab fiqih banyak diartikan “akad atau perjanjian yang mengandung maksud
membolehkan hubungan kelamin hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja”. Dengan
demikian pernikahan dinamai zawaj
yang berarti keberpasangan disamping dinamai nikah yang berarti penyatuan ruhani
dan jasmani. Suami dinamai zauj dan
istri pun demikianNafsu seks termasuk
tuntutan terkuat dan selalu meliputi kehidupan manusia. Ketika tidak ada jalan
keluar untuk melampiaskan, maka manusia akan dirundung kegelisahan dan
dikhawatirkan melakukan perzinaan.
Selain itu, nikah juga
mempunyai hikmah dibaliknya. Diantaranya, pernikahan jalan terbaik untuk
melahirkan anak, memperbanyak kelahiran dan melestarikan kehidupan dengan
selalu menjaga keturunan, naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh dan
berkembang dalam menaungi anak pada masa kanak-kanak serta tumbuhnya rasa kasih sayang, rasa tanggung jawab dari pernikahan
serta mengurus anak dapat membangkitkan semangat dan mencurahkan segala
kemampuan dalam memperkuat potensi diri, membagi-bagi pekerjaan
dan membatasi tanggung jawab pekerjaan kepada suami dan istri.
Dengan demikian
perkawinan adalah suatu perbuatan yang diperintahkan oleh Allah dan juga
disuruh oleh Nabi. Dari begitu banyak suruhan Allah dan Nabi untuk melaksanakan
perkawinan itu maka perkawinan adalah perbuatan yang lebih disenangi Allah dan
Nabi untuk dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir, Garis Garis Besar Fiqih, 2003. Jakarta: Kencana
Shihab, Quraish,
Pesan Kesan dan Keserasian al-Quran, 2002. Jakarta: Lentera hati
Abdurrahman, al-Allamah, Rahmah
al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah, penerjemah Abdullah Zaki Alkaf, Fiqih
Empat Mazhab, 2015. Bandung: Hasyimi
Al-Maraghi,
Ahmad Mustofa, Tafsir Al-Maraghi, vol. 6, 1993. Semarang: Karya Toha
Ibnu
Katsir, Kisah para Nabi: Sejarah Lengkap
Perjalanan Hidup para Nabi, 2015. Jakarta: Qisthi Press
Ensiklopedi
Hadits, Fathul Bari: 5185-5186,
hadits Bukhari, no. 4787, kitab Nikah, bab: Wasiat untuk wanita
Ensiklopedi Hadits, Syarh Sahih
Muslim: 1468, no. 2670, kitab Menyusui, bab: Wasiat untuk memperhatikan
wanita
Qurthubi,
Imam, Jami’ al-Ahkam
al-Qur’an,
vol. XIV, 1967. Beirut:
Muassasah al-Risalah
Qasimi, Jamaluddin,
Mahasin al-Ta’wil, vol. XIII. t.t, Beirut: Dar al-Fikr
Agustina Nurhayati, Pernikahan dalam
Prespektif al-Quran, 2011. ASAS, vol. 3, no. 1
Ahmad Atabik dan Khoiridatul
Mudhiiah, Pernikahan dan Hikmahnya
Perspektif Hukum Islam, 2014. YUDISIA, vol. 5, no. 2
Muhammad, Kamil, Fiqih Wanita, 1998. Jakarta: Pustaka al-Kautsar
Sarwat,
Ahmad, Kitab Nikah, (Ebook Fiqih Nikah.pdf)
[1]
Amir Syarifudin, Garis Garis
Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 73-74
[2]
Quraish Shihab, Pesan Kesan dan Keserasian
al-Quran, (Jakarta: Lentera hati, 2002), hal. 332
[3]
Al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Damasyqi, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf
al-Aimmah, penerjemah Abdullah Zaki Alkaf, Fiqih Empat Mazhab,
(Bandung: Hasyimi, 2015), hal. 318
[4]
Amir Syarifudin, Garis Garis
Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 80
[5]
Quraish Shihab, Pesan Kesan dan
Keserasian al-Quran, (Jakarta: Lentera hati, 2002), hal. 400
[6]
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: Karya Toha,
1993), vol. 6, hal. 315
[7]
Quraish Shihab, Pesan Kesan dan
Keserasian al-Quran, (Jakarta: Lentera hati, 2002), hal. 399
[8] Ibnu Katsir, Qoshos al- Anbiya,
penerjemah Saefullah, MS, Kisah para Nabi: Sejarah Lengkap Perjalanan Hidup
para Nabi, (Jakarta: Qisthi Press, 2015), hal. 20. Lihat pula
Ensiklopedi Hadits, Fathul Bari: 5185-5186, hadits Bukhari, no. 4787,
kitab Nikah, bab: Wasiat untuk wanita
[9]
Ensiklopedi Hadits, Syarh Sahih Muslim: 1468, no. 2670, kitab Menyusui,
bab: Wasiat untuk memperhatikan wanita
[10]
Amir Syarifudin, Garis Garis
Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 80
[11]
Quraish Shihab, Pesan Kesan dan
Keserasian al-Quran, (Jakarta: Lentera hati, 2002), hal. 188
[12] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi
Bakar al-Qurthubi, Jami’ al-Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Muassasah
al-Risalah, 1967), vol. XIV, hal. 16-17 dan Muhammad Jamaludin al-Qasimi, Mahasin al-Ta’wil,
(Beirut: Dar al-Fikr, t.t), vol. XIII, hal. 171-172
[13]
Agustina Nurhayati, Pernikahan dalam Prespektif al-Quran, ASAS, vol. 3, no. 1,
2011, hal. 101
[14]
Amir Syarifudin, Garis Garis
Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 79 selengkapnya lihat
Ahmad Sarwat, Kitab Nikah, (Ebook Fiqih Nikah.pdf), hal. 14
[16]
Ahmad Atabik dan Khoiridatul Mudhiiah, Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif
Hukum Islam, YUDISIA, vol. 5,
no. 2, hal. 306-307
Tidak ada komentar:
Posting Komentar