Minggu, 14 Januari 2018

Resensi Buku Novel Negeri 5 Menara




Judul Novel: Negeri 5 Menara
Pengarang Cerita Novel: Ahmad Fuadi
Penerbit Novel: PT. GRAMEDIA
Tahun Terbit Novel: 2009
Ketebalan Novel: 416 Halaman
Jenis Novel: Edukasi
Judul Resensi: Kiat Menjadi Orang yang Sukses

Alif lahir di pinggir Danau Maninjau dan tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya adalah berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain sepak bola di sawah berlumpur dan tentu mandi berkecipak di air biru Danau Maninjau.
Setamat SMP di Padang ia terpaksa melanjutkan sekolah ke Pondok Madani, sebuah pesantren di Ponorogo, Jawa Timur, menuruti kehendak orangtuanya. Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Keinginan kedua orangtuanya tentu saja tidak salah, sebagai ‘emak’ (ibu) kala itu, menginginkan supaya anaknya menjadi seorang yang bernama, dihormati di kampung seperti menjadi guru agama. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie.
Dengan setengah hati dia mengikuti perintah Ibunya, belajar di pondok. “Memiliki anak yang sholeh dan berbakti kepada orangtua adalah sebuah warisan yang tak ternilai, karena bisa mendoakan kedua orangtuanya dikala sudah tiada", Ujar Alif mengenang keinginan Emak di kampung pada waktu itu. Di tempat yang tidak disukainya itu ia kemudian bersahabat dengan lima teman dari lima daerah berbeda. Di situ pula mereka mengenal dan belajar menghayati ajaran man jadda wajada, yang artinya “Siapa bersungguh-sungguh, dia akan berhasil.”
Dia terheran-heran mendengar komentator sepak bola berbahasa Arab, anak mengigau dalam bahasa Inggris, merinding mendengar ribuan orang melagukan Syair Abu Nawas dan terkesan melihat pondoknya setiap pagi seperti melayang di udara.
Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid yang menjulang, mereka berenam kerap menunggu maghrib sambil menatap awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk. Uniknya, setelah bertemu, ternyata apa yang mereka bayangkan saat menunggu adzan Maghrib di bawah menara masjid benar-benar terjadi. Itulah cuplikan utama cerita novel negeri 5 menara karya Ahmad Fuadi ini. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing.
Dengan membayangkan awan itulah meraka menggambarkan impiannya. seperti Alif mengakui jika awan itu bentuknya seperti benua Amerika, yaitu sebuah negara yang ingin ia kunjungi kelak setelah lulus nanti. Begitu juga dengan yang lainnya menggambarkan awan itu seperti negara Arab Saudi, Mesir dan Benua Eropa. Kemana impian jiwa muda ini membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah: Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar. Belajar di pesantren bagi Alif ternyata memberikan warna tersendiri baginya. Ia yang dulunya beranggapan bahwa dunia pesantren adalah konservatif, kuno, ‘kampungan’, ternyata anggapan itu salah besar. Di pesantren ternyata benar-benar menjunjung sikap kedisiplinan yang tinggi, sehingga mencetak para santri yang bertanggung jawab dan berkomitmen.

Di dunia pesantren mental para santri dibakar oleh para uztads supaya itu semua dilakukan supaya santri tidak mudah menyerah dan memiliki mental baja. Setiap hari, sebelum masuk dalam kelas, selalu menyanjungkan kata-kata ajaib “man jadda wa jadda" barang siapa yang bersungguh-sungguh berhasilah ia.
Sayang, dalam film segalanya malah terkesan mudah dan biasa-biasa saja. Ajaran tersebut sepanjang film terus diulang-ulang secara verbal. Alif dan kawan-kawan digambarkan lebih sering ngobrol di kamar asrama dan kaki menara masjid ketimbang bekerja keras bila perlu sampai melewati batas kemampuan diri untuk mewujudkan keinginan masing-masing. Sesuatu yang justru bisa menjadi sumber konflik antarmereka. Pada Alif, misalnya, tidak terasa kesungguhannya melakukan sesuatu yang yang lebih dari teman-temannya agar bisa melanjutkan kuliah di ITB, Bandung. Ia bahkan lebih tampak sebagai pengeluh dan pemimpi.
Konflik di dalam diri Alif (mengikuti kehendak orangtua tapi tetap bermimpi masuk ITB) tidak tergarap baik. Bukan cuma berakibat kita kehilangan ikatan emosional dengan karakater utama, hal itu juga membuat film ini kehilangan fokus. Apalagi, konflik dalam pertemanan enam sekawan itu baru muncul belakangan, yakni sewaktu mempersiapkan pementasan kesenian.
Meskipun begitu, dalam kumpulan film bertema from zero to hero, Negeri 5 Menara setidaknya menyumbang perspektif baru mengenai sukses (dalam kaitannya dengan dunia pendidikan). Sukses bukanlah menjadi kaya, mempunyai kedudukan tinggi, dan terkenal seperti yang kini diyakini hampir semua orang, melainkan seberapa berguna (hidup) kita buat orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

*Mengenal Lebih Dekat Dunia Jurnalistik, Pesantren Modern Primago Menggelar Pelatihan Jurnalistik Bersama Pimpinan Redaksi Gontornews.com.*

 *Mengenal Lebih Dekat Dunia Jurnalistik, Pesantren Modern Primago Menggelar Pelatihan Jurnalistik Bersama Pimpinan Redaksi Gontornews.com.*...